Sankis

Alkhamduliillah, jeruk yang kutanam sudah berbuah dan bisa dipetik. Rasanya manis, dan banyak air, tapi harus dikupas pakai pisau, kalau ada sisa kulit majemuknya ikut dikunyah ada rasa getar. Anak-anak kurang begitu menyukainya, sehingga buah jeruk ini seperti hiasan enak dipandang... Ada tetangga yang mau silahkan petik.... Rumah kami tanpa teralis ukir atau pagar bambu sekalipun...

posted from Bloggeroid

Limited of Rantau

Indonesia, negeri kepulauan dengan beragam suku dan budaya. Setiap pulaunya memiliki cirikhas masing-masing baik adat maupun sumber daya alamnya. Setiap pulau yang terbentang dikelilingi lautan. Negeri yang elok dan mustinya juga negeri yang makmur sentausa, persis seperti dalam imajinasi masa kecilku ketika belajar IPS maupun PMP. Buaian kesuburan tanah dan limpahan airnya bahkan menjadikan banyak warganya terlelap dengan kemudahan alam dimana lempar tongkatpun jadi tanaman.

kisah dimulai....Perkembangan iptek dan sosbud menjadikan manusia di muka bumi ini terhubung satu lain secara fisik. jalan darat yang panjang, laut terbentang tak terhalang karena kapal laut dan terbang. Hilir mudik manusia dari satu negara ke negara lain begitu cepat dan mudah, demikian pula halnya penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya, menyeberang dengan tanpa halangan berarti. kebutuhan manusia diciptakan sedemikian rupa agar penduduk bumi memang membutuhkannya. Padahal kalau mau sedikit saja menyita waktu untuk merenungi untuk apa kita dilahirkan, apa tujuan hidup kita, kenapa harus ada sisir, ada sepatu, ada sandal, ada buku, ada potlot, penggaris, televisi dan aneka barang yang dibuat (baca: ditimbulkan] manusia? 
ketika aku hidup ditengah hutan, tidak ada aturan, tidak ada hukum dan tidak ada sedikitpun hal yang kujumpai kecuali tubuh dan perlengkapannya, pohon, binatang, tentu saja tidak ada kebutuhan kecuali makan. Tidak ada hal yang mendesak menjadi penting, semua berjalan berdasarkan naluri alam. Pasti tidak ada salah benar, tidak ada kata-kata makian, tidak ada rasa memiliki, semua adalah bermain dan bernyanyi. Bercocok tanam dan mengambil sesuatu dari alam secukupnya saja. Tapi rupanya aku sadar, aku hidup di dunia beradab yang terus berkembang menuju kehancuran dunia. Aku yakin itu,.. bukan menuju dunia yang kian aman sentausa, itu tidak mungkin terjadi. 
Maka, karena aku hidup di dunia yang penuh dengan kebutuhan yang dikondisikan oleh system manusia lain, maka mendadak aku juga ikut serta berbondong-bondong seperti manusia pada umumnya. Ingin memiliki, menguasai, dan bekerja untuk memenuhi ingin-ingin jelmaan itu. Andai saja hidup ini cukup dengan hidup ala kadarnya, tentu aku setuju saja melakoninya, tapi rupanya aku mahluk sosial yang harus menikah, yang tujuan utama adalah menyalurkan dan melegalkan hasrat birahi dan melahirkan generasi-generasi berikutnya, maka aku tidak hidup sendiri dari komunitas terkecil, yaitu keluarga. Aku bersama orang pilihan yang menjadi pendamping hidup, dengan sendirinya perubahan terjadi. ketika sendiri adalah serba penuh autorisasi, tapi menjadi dua kepala adalah banyak hal terjadi. Lahir dan tumbuh dari dusun kecil di pulau jawa yang konon serba ada menjadikanku kian mudah menjangkau ke manapun pergi di dalam pulau ini.
Merantau menjadi banyak pilihan warganya ketika pekerjaan yang didambakannya tidak tersedia di mana ia tinggal. Bahkan presiden, gubernur, bupati dan camat kebanyakan menduduki jabatan itu di daerah lain. Merantau telah membuatku banyak guratan hidup di ibu kota, tidak banyak yang kuukir di kota ini, namun pekatnya sudah memacuku kian mengerti bahwa hidup ini ternyata memang berkembang ke depan. ketika yang ditawarkan di tempat rantau tidak sesuai lagi denga harapan maka kembali ke alam di mana dulu aku dilahirkan pasti akan menyederhanakan aneka kebutuhan hidup yang selama ini dibuat sedemikian komplek. 
kenapa aku dulu bersemangat sekali ingin pergi ke jakarta untuk bekerja? karena mengejar impian, dan mimpi itu sudah sedang diputar, aku mulai terusik karena sebentar lagi bangun. Aku harus menjemput impian impian dalam kenyataan. Sekarang aku sudah bangun, dan menyongsong hari esok yang harus lebih baik. Mentari pagi yang memerah disela sela pepohonan, riak air, embun di rerumputan, unggas yang berkeliaran dan keluarga dimana aku selalu impikan.
                                                 


Alya, si kriwil pemecah suasana




Selamat datang di dunia lelaki, Han...

kamis pagi, 28 jun hari yang bersejarah bagi si sulung, Hanif Zaid. Disaat liburang k
enaikan kelas enam ia merintih kesakitan karena pucuk otong harus dipotong demi menjalankan syariat, dan perintah Allah kepada Ibrahim. Sebagai ayah, aku tak ingin melewati momentum penting ini, tapi memang telat 5 menit dan pak Mantri tidak menungguku demi daftar antrian berikutnya di desa sebelah. Aku sudah tergopoh-gopoh dari kantor rabu sore mendapatkan bus yang berangkat magrib, tapi ya sudah apa mau dikata. Ciregol - tonjong memang sedang perbaikan jalan karena ambrol, dan entah bagaimana nanti lebaran. 4 hari cuti menghabiskan waktu bersama si sulung, nipong yang selalu kesulitan duduk, pipis, dan sampai aku berangkat minggu konon dia belum mandi. Adiknya selalu saja menggoda biar kakaknya bereaksi, tapi rupanya nipong tak bergeming,          selamat menyambut akil baliq, semoga berubah perilaku kepada ibumu yang sering kau sakiti, makin sayang sama adikmu, dan giat beribadah. Aku tahu, dunia lelaki begitu beragam masalah kelak di duniamu, tapi yakinlah kamu akan mendapatkan pelajaran berharga dari ayahmu.