Jamal

Udah seminggu terakhir kerap terjaga dini hari. Lantaran utamanya karena waspada akan pekerjaan berkelanjutan. Karena proses siang hari nanti berlanjut hingga malam namun biasanya kalau lancar tidak ada hp berdering. Tapi kalau ada masalah maka aku harus bangun mengangkat atau membalas sms. Dan setelahnya adalah malam yang panjang hingga pagi menjelang. Anehnya justru pas jam berangkat malah kantuk itu datang tak berpori.

Ke tanah minang

Mendapat tugas ke luar kota. Kali ini ke daerah padang, sumatera barat. Yang di benak saya adalah rumah lancip seperti pada uang koin 100 rupiah jaman dahulu. Berangkat dari rumah pada kamis jam 5 pagi, penerbangan batavia tercatat di tiket terbang pukul 6.30 namun yang terjadi adalah pukul 8.25.

Hampir 2 jam terbang melintasi angkasa dengan cuaca cerah. Sesampai di bandara minangkabau, benak itu terbukti nyata. Hampir bangunan instansi pemerintah terlihat lancip melengkung. Tapi banyak penduduk yang lalu lalang tidak seperti dugaanku yang mengira padang itu tidak ada orang karena sedang merantau semua. Dan itu memang terkenal, dimana orang minang adalah perantau. Atau mungkin pas aku ke sana mereka lagi pada mudik sehingga kota padang ramai.

Dari bandara minang ke arah kantor cabang sekitar ditempuh sekitar 1 jam. Berderet restoran aku yakin semua itu makanan khas setempat, tapi tidak seperti di jakarta yang bertuliskan "masakan padang". Namun uniknya bertuliskan restoran ampera entah apa maksudnya.

Lama sekali rasanya tidak menulis jadi serasa tumpul. Padahal menulis itu sungguh nikmat seperti lezatnya pasangan masakan pedas dan seuntai petai.

Perjalanan bersama bos itu tentu ada enak dan tidak enaknya. Apa saja?
Nanti aku ulas di tulisan berikutnya.

Kota ini kecil untuk ukuran ibu kota propinsi. Masih sepi dan dan tanpa bangunan menjulang. Aku tidak melihat adanya toko retail macam alfa maupun indomart. Konon kota ini mengutamakan perdagangan lokal. Sehingga tidak heran harga sebungkus rokok di sana lebih mahal.

Ngantuk...