Kriwilisme, Kejauhan

Si Kriwil Aya - Sehari sebelum ditinggal ke Borneo
Merencanakan apa yang akan dilakukan, dan lakukan apa yang direncanakan, sebuah slogan ringan, sederhana, tapi ada saja musababnya untuk tidak jalan sesuai harapan. Slogan ini pertama kubaca di gedung Telkom Tanjung Priok, tahun 2003. Seperti dulu aku pernah menjanjikan pada diri sendiri dan kepada pasangan hidup pujaan hati belahan jantung, kalau Hanif si sulung dulu tidak bisa kudamping sebagai bentuk parenting sosok Ayah utuh, maka adiknya, si Kriwil akan kupastikan kukawal masa balitanya, aku akan hadir di tengah-tengah masa pertumbuhanya. Ternyata?

Tahu-tahu sudah 5 tahun, seperti orang terperanjat. Sekarang anak perempuanku sudah tidak bisa lagi diajak main berlama-lama, karena sudah punya dunia sendiri bersama teman sebayanya. Sudah nggak nyaman dicium dan digendong, sekarangpun kalau ditelpon lari entah ke mana. Kakaknya sudah mulai remaja, suaranya membesar, istilah lokalnya adalah 'mbekuki'. Masalah remaja pasti sedang dihadapi anak sulungku, ia punya teman-teman yang semua tengah mencari jati
diri, mencoba hal baru, berkelompok ke sana ke mari. Dan sayangnya, teman-temanya semuanya merokok, namun sepanjang pengetahuanku, ia tidak merokok ku check di kamarnya tidak ada bau rokok, tas, baju semua kucium tidak ada bau khas rokok. Mamanya sangat tegas mendidik anak-anak, termasuk tegas kepada suaminya yang tidak boleh ada sms, bbm apapun yang bukan tentang pekerjaan masuk ke HP, lebih baik dihapus dijalan dari pada harus membaca dengan mata kepala sendiri. Apa aku tidak boleh punya teman perempuan? boleh saja.. yang penting tidak aneh-aneh, kalau aku bisa menjaga diri selama ditinggal, harusnya yang meninggalkan istripun harus bisa jaga perasaan orang, demikian nasihat galaknya. Benar juga, aku setuju... 

Si Kriwil makin tumbuh besar, dan kritis, tapi cemburuanya tidak tahan. Tidak boleh kami berdekatan-
Belajar angka 8, ribet
ketika sedang pulang. Jangankan cium, baru pegang tangan saja reaksi si Kriwil sudah nyureng, apa yang dilihat langsung disebrak dan dilempar. Ibunya panggil mas, pun sangat keras siksaan si Kriwil, mamanya ditabok, sambil menggerutu, mas mes mas mes pacaran ae kalau bapak pulang. Namun dibalik sifat cemburuan yang tinggi, aku bahagia, karena ia sregep dan cekatan dan mampu jadi asisten mamanya. Inisatif yang tinggi untuk hal-hal kecil dan rutin, seperti bikinin minum kalau ada tamu, sibuk melayani pembeli, ngepel, nyetrika, ambil cucuian dari mesin dan menjemurnya di samping rumah. Jauh beda dengan si sulung yang pasif dan bangun siang. 

Kriwil, ai misyu....

Kemarau Panjang

Bulan April telah berlalu, meski berisi 30 hari saja tapi telah mengukir banyak sejarah di dalamnya. Salah satunya adalah boyongan (baca: evakuasi) dari Jakarta ke kampung halaman. Sementara aku menjalani penugasan ke Bontang, Kaltim. Banyak hal baru ku peroleh di tahun 2014 ini baik gembira ataupun nestapa. Kabar baiknya, bulan april ini masih banyak hujan turun ini menggambarkan kemurahan Allah kepada hamba-Nya yang masih menggantungkan hidup dari curah hujan, dialah para petani yang dari kerja keras mereka makanan sehari-hari tersaji. 

Akhirnya pada hari Jumat tanggal 25 April aku singgah di Jakarta, dan berijbaku dengan pindahan barang-barang yang hampir 15 tahun lebih menemaniku di Jakarta, kota yang semakin semrawut. Di saat yang sama, terjadi kebakaran hebat tidak jauh dari lokasi tempat tinggalku, pasar Senen. Mampir ke kantor sebentar sekedar penyelesaian administrasi, dilanjutkan perjalanan ke J.lo (jenifer lopez, Jambenom Lor), perlu menempuh 2 hari untuk perjalanan Bontang ke J.Lo, dan sesampai di rumah lereng hutan pinus, semua lelah dan capek hilang seketika. Dan cutilah kemudian 7 hari....

Awal Mei, Jumat tgl 2 kembali meninggalkan kampung halaman menuju ke Borneo, tidak via Jakarta. Aku lewat Jogja, kupakai kereta dari Purwokerto. Dari  stasiun Jogja ke Bandara Adi Sucipto cukup ditempuh selama 30 Menit pakai taxi.  Pesawat berangkat pukul 08:30... sleberrrrrr sampai di Balikpapan pukul 11:00 Wita. 

Di bumi kalimantan terlihat seperti kemarau panjang, panas dan gersang di kanan kiri jalan. Aku memandang dengan tatapan kosong dari balik mobil travel. Wajah-wajah berseliweran ada yang tersenyum, ada yang melambai, ada yang tengah sedih, ada yang datar. 

Kemarau panjang bisa menjadi kebaikan, kita akan tahu cara menghargai setetes air. Bila tidak kujumpai air setetespun, akan kugali sumur ke kedalaman, keletihan karenanya musnah oleh air yang membuncah.
Dan bila musim hujan, maka banyak yang tidak mengerti kegunaan air bahkan banyak yang mengumpat karenanya. Maka, kemarau 7 tahun akan lupa seketika, hanya karena guyuran hujan 7 jam saja.