Si Pungguk

Zaman dahulu di bulan terdapat sebuah taman yang amat indah. Di taman itu tumbuh pohon-pohonan hijau yang dihuni oleh berbagai macam burung. Di tengah-tengahnya ada sebuah kolam yang berlumpur. Dari dalam kolam itu menyembul berjenis-jenis bunga teratai. Di sekeliling pagar kolam itu bermekaran bunga-bungaan aneka warna. Keindahannya sungguh menawan setiap gadis dan pemuda yang lewat. 
Suatu sore, menjelang matahari tenggelam, seorang gadis cantik berjalan-jalan di taman itu. Nama gadis itu Putri Bulan. Ia diiringi beberapa gadis dayang-dayang antara lain Awan dan Mega. Dari pohon-pohon terdengar nyanyian burung yang bersahut-sahutan, seolah-olah mengiringi perjalanan putri itu. Burung-burung besar sepeti Garuda, Rajawali dan Gandasuli, bertugas mengawasi kalau-kalau ada pemuda iseng yang mengganggu putri itu.

Ada seorang pemuda tampan, namanya Si Pungguk. Ia juga ingin menikmati keindahan taman itu. Dilihatnya Putri Bulan yang cantik itu memetik beberapa kuntum bunga. Ketika mata pemuda itu bertatapan dengan Putri Bulan, seketika pemuda itu jatuh cinta. Demikian pula Putri Bulan. Ia sangat terpesona melihat ketampanan pemuda itu.
Burung Garuda yang sejak tadi mengawasi gerak-gerik pemuda itu, tiba-tiba hinggap di depannya. “Hai, Pungguk!” bentaknya. “Jangan coba-coba mendekati Putri Bulan! Kau rakyat jelata! Ayo pergi jauh!” katanya sambil mengepakkan sayapnya lebar-lebar.

Sebelum pergi Si Pungguk membuang pandang sekali lagi kepada Putri Bulan. Putri Bulan pun membalasnya dengan senyum. Sesungguhnya gadis cantik itu sangat kecewa melihat tindakan Garuda yang tidak santun itu. Apa boleh buat! Pemuda tampan itu harus meninggalkan tempat itu dengan hati yang tergores.

Sebuah bintang yang melihat kejadian itu sangat kasihan kepada Si Pungguk. Bintang itu mendekat. “Kasihan kau Pungguk!” katanya. “Percuma kau mencintai Putri Bulan. Ia gadis bangsawan, sedangkan kau orang kebanyakan. Sebaiknya kau pergi ke puncak gunung. Berdoalah di sana dan lupakanlah segalanya!”

Namun pemuda tampan itu tidak mau menyerah. Ia tidak bisa melupakan pandangan pertama gadis cantik itu. Demikian pula Putri Bulan. Sejak kejadian itu, gadis bangsawan itu sangat rajin pergi ke taman. Ia berpesan kepada Awan dan Mega, agar memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk menjumpainya.

“Aku cinta padamu!” demikian kata pemuda itu dalam sebuah kesempatan.
“Aku pun mencintaimu,” jawab Putri Bulan. “Tapi sayang, ayahku telah menjodohkanku dengan pemuda lain. Sekarang cepatlah pergi! Banyak burung yang mencurigai pertemuan kita.”
“Jadi putri bangsawan itu mencintaiku. Aku tidak bertepuk sebelah tangan,” demikian bisik hati Si Pungguk. Sesaat ia merasa senang, tetapi kemudian ia bersedih. Apa maksud kata-kata Putri Bulan yang terakhir itu? Bukankah hal itu berarti sang kekasih akan menjadi milik orang lain? Demikian pertanyaan yang muncul di benaknya.

“Makanya, ikutilah nasihat si Bintang,” kata burung merpati yang hinggap di sebelahnya. “Cintamu sia-sia saja! Janganlah bersedih, lupakanlah semuanya dengan berdoa di puncak gunung!” 
Siang-malam Si Pungguk merenung. Tidak mudah menyembuhkan hati yang terluka. Kadang-kadang ia menyesali diri, mengapa ia lahir sebagai orang kebanyakan. Ah, tidak! Ia akan mencoba mengikuti nasihat si Bintang dan si Merpati. Ia pergi ke puncak gunung. Di sana ia merenung dan berdoa selama empat puluh hari. 

PUTRI Bulan menyadari bahwa jawabannya pasti mengecewakan si Pungguk. Ia juga tidak dapat melupakan pemuda tampan itu. Cintanya tetap bergelora. Sebagai tanda cinta yang murni, ia ingin menyampaikan sebuah kenang-kenangan. Tetapi setiap ke taman, gadis bangsawan itu tidak pernah berjumpa dengan pemuda idamannya.
---

Ia bertanya kepada Awan, Mega, dan Garuda, apakah yang terjadi atas pemuda idamannya itu. Barulah setelah genap empat puluh hari, burung Cendrawasih menyampaikan berita kepada Putri Bulan. "Tuan Putri!" katanya. "Si Pungguk berdoa di puncak gunung. Sekarang ia mengakhiri doanya dan akan datang ke taman ini."
Maka terjadilah pertemuan yang mengesankan itu. Putri Bulan sekali lagi menyatakan cintanya. Ia mengikatkan selembar kain kudung di leher si Pungguk. Si Pungguk membalasnya dengan pelukan mesra.
Plak! Tiba-tiba burung Garuda menyerang Si Pungguk. Pemuda itu jatuh, kepalanya berdarah. Ia bangkit lalu menghunus pedang. Belum sempat membalas, burung Rajawali memukulnya bertubi-tubi dari belakang. Si Pungguk terhuyung-huyung tak berdaya. Burung Gandasuli lalu mendorongnya keras-keras. Pemuda tampan itu jatuh ke dalam kolam lumpur. Badannya berlepotan, nafasnya terengah-engah. Ia berusaha bangkit, tetapi ketiga burung besar itu menghadangnya. Akhirnya si Pungguk mati tenggelam.
Putri Bulan yang menyaksikan kejadian itu menangis. Demikian pula Awan dan Mega. Mereka tak kuasa menghadang tindakan burung-burung yang kejam itu. Tak lama berselang, gadis yang patah hati itu ingin melihat jazad si Pungguk. Aneh, jazad yang membusuk itu telah berubah menjadi seonggok jamur. Jamur itu bergerak perlahan-lahan, berdiri, menggeliat, lalu berubah menjadi seekor burung. Burung itu berusaha mendekati Putri Bulan, tetapi tak kuasa. Ia terbang, terbang, lalu jatuh di bumi.
Nah, itulah si Pungguk, pemuda patah hati yang telah menjadi burung. Konon sampai sekarang pun burung itu masih merindukan kekasihnya. Setiap malam terang bulan ia hinggap di pohon yang tinggi. Ia berharap curahan cintanya dapat didengar oleh Putri Bulan. "Pung guk, pung guk!" katanya berulang-ulang.
***

Jadi, hubungan cinta antara si Pungguk dan Putri Bulan adalah cinta-menyintai. Gayung bersambut, dan bukan bertepuk sebelah tangan. Karena sistem lapisan masyarakat yang tertutup (tradisional), jalinan cinta itu menjadi kasih tak sampai; dengan kata lain tidak sampai ke ujung pelaminan. Pasangan itu harus berpisah selama-lamanya. Cinta murni tak kuasa menembus tembok tebal feodalisme.
Sekarang tembok tebal itu tidak hanya tersusun dari bahan feodalisme, tetapi juga dari sistem kebangsaan, kepercayaan, ekonomi, adat istiadat, kebudayaan, dll. Betapa sulitnya cinta murni itu menembus sekat-sekat yang kaku itu. Diperlukan waktu yang panjang, prosedur yang rumit, sosialisasi yang melelahkan. Cobalah teliti berapa korban cinta yang terjadi karena tembok tebal bikinan manusia itu.
Timbul dalih, benarkah ada cinta murni? Mungkin benar apa yang dikatakan orang-orang tua zaman dulu; cinta tumbuh setelah naik ke pelaminan. Putri Bulan tak perlu mengangan-angankan bertemu dengan Si Pungguk, sebab orangtuanya sudah memilihkan pasangan yang "ideal". Jalinan cinta akan tumbuh dengan sendirinya setelah pasangan yang "ideal" itu bertemu dalam mahligai perkawinan. Tinggal si Pungguk yang selalu mencurahkan isi hatinya kepada Putri Bulan, padahal putri yang cantik itu belum tentu mau mendengarkannya.
Kalau demikian, perkawinan yang terjadi dalam batas-batas tembok yang tebal itu hanyalah dongeng belaka. Itu pun secara samar-samar diarahkan bahwa tembok tebal itu sesungguhnya tidak ada. Cinderella yang cantik bukan gadis kebanyakan, tetapi putri bangsawan yang diperlakukan buruk oleh ibu tirinya. Sang Kodok yang kawin dengan putri raja, sebetulnya bukan kodok sungguhan tetapi penjelmaan pangeran.
Jalinan cinta yang berakhir dengan perkawinan seperti kisah Cinderella atau Pangeran Kodok itu, dapat dilihat dari dua segi. Pertama, untuk mewujudkan perkawinan itu, seseorang harus melakukan perjuangan, dan kedua, dongeng itu sendiri sudah melakukan perlawanan sehingga sekat-sekat yang membatasi harkat kemanusiaan itu tak ada sama sekali.
Bagaimana kenyataannya? Sudah tercapaikah keinginan dongeng "Cinderella", "Pangeran Kodok" dan "Si Pungguk Rindukan Bulan"?

dari: sana sini

Galak

Kiswong | Pic
Memasuki bulan ke dua di Kalimantan,

Semua normal, umumnya pekerjaan lancar dan kalau beberapa hal yang tidak sesuai harapan bisa jadi karena ada pihak lain yang belum siap untuk menjadi kompak. Pekerjaan ini melibatkan banyak instansi yang sarat koordinasi dan komunikasi. Hal yang paling membahagiakan bagi sebagian orang, termasuk aku pasti, adalah ketika lepas dari kesibukan. Rupanya dunia ini selalu menyediakan perumpamaan bagi banyak situasi. Maka perumpamaan yang pas untuk kondisiku saat ini adalah, tak ada gading yang tak retak. Kalau semua baik-baik saja, tapi ada saja yang kurang. Banyak manusia yang ambisius untuk duniawi dan mengabaikan jiwa dan ruhaninya, tapi tidak bagiku. Ruhnya hidup ada pada kebutuhan bioslogos, tapi kenyang kebutuhan bisologos tanpa kebutuhan duniawi tercukupi pasti hampa tak bertenaga.

Ini semua sejatinya bisa dikondisikan, tapi rupanya aku seperti terjebak dalam cita-cita masa lalu. Padahal bukan sesuatu yang rumit, kalau ada kemauan kuat. Tinggal, cling... semua beres. Kelihatanya begitu mudah, tapi lagi-lagi pelaksanaan dan konsistensi yang sulit. Aku salah satu jenis manusia yang galak, berhati keras, berkemauan keras. Bukan hal sulit untuk menunaikan kebutuhan bios logos ketika jauh dari istri, tinggal jalan ke mana, mau model apa, tinggal pilih. Tapi segalak-galaknya aku, kalau fokusku tidak ke dunia pergairahan tentu saja bisa redam, asal bisa sibuk, asal ada teman diajak ngobrol. Sesekali ngajak teman ngobrol di langit tanggapanya sudah aneh, maunya seperti apa yang dia mau. 

Padahal kalau mau mawas diri, ternyata bukan aku sendiri yang mengalami hal yang sama, masih banyak pria pekerja yang rela (baca: terpaksa) meninggalkan indahnya keluarga, lezatnya hidangan istri demi sifat wajib pria untuk mencari nafkah keluarga. Mereka yang profesional di bidangnya juga meninggalkan keluarga, dan baru bisa pulang 2-3 bulan sekali. Ketemu dengan orang baru dan ngobrol kudapati info yang setidaknya menghiburku, tapi kenapa aku merasa menjadi galak sendiri? Saat-saat tidak enaknya hidup sendiri bagi seorang pria galak adalah ketika menahan gejolak alami. Itu saja, dan tidak bisa dihibur dengan apapun kecuai bisa terbang dan lupa diri sejenak meredam galaknya malam....