15

Seminggu.
Memulai sekolah lanjutan di satu SMANSA (anaku menyebutnya demikian) di kota kecil yang kalaupun dijug jag (PP-red) sebetulnya sangat bisa dilakukan. Tapi di sekolah tersebut menerapkan pembelajaran yang intensif dimulai pagi jam 07 sampai jam 16, Senin sampai Jumat, layaknya orang bekerja saja. Sehingga dengan kondisi demikian kami memutuskan indekost saja di kota itu. Kami juga mendorong agar anak ini bisa lepas dari pengaruh rumahan agar bisa lebih mandiri, belajar membuat keputusan-keputusan kecil dalam hidupnya. Bagaimana ia mengelola keuangan, apa yang harus dibeli, berteman dengan siapa, dan lain sebagainya. Sebelum memulai sekolah, kami berikan pembekalan supaya ia ada gambaran bagaimana kehidupan orang ngekost, karena contoh hidupnya adalah ayahnya sendiri. Kami menyarankan agar sebulan sekali ia pulang, supaya lebih terasa kangen mama serta adik adiknya dan yang paling penting ia menyadari bahwa jauh dari orangtua betapa tidak menyenangkan, dengan demikian akan muncul benih rasa sayang dan sesal sering membuat mamanya nangis dan kesal.
Tapi jumat sore, 23 Juli sudah nongol di kampung halaman, ia mudik dengan segenap cerita yang disampaikan kepada ibunya dan direlay ke aku pada malam harinya.

Senewen
Hal yang kusukai adalah dia kian dekat dengan ibunya, setelah beberapa hari kost. Hanif sering cerita segala sesuatu kepada Ibunya baik sms maupun langsung. Saat istriku diundang sebagai walimurid ke sekolah, ada sikap Hanif yang tidak kusukai yaitu tidak menghiraukan saat dipanggil oleh ibunya. Menggelengkan kepala, bukanya mendatangi dengan meminta izin guru kelasnya. Apa pasal? Hanif ngasi kode minta uang jajan, dengan menggesek-gesekan jempol dan ujung jari telunjuk ke arah Ibunya. Lalu, si Ibu ini memberikan kode agar datang, sampai dibuat kesal karena tidak juga datang maka si Ibu menitipkan kepada siswi yang pas keluar dan masuk lagi dan mengatakan tolong titip ke Hanif. Lalu si Ibu ini segera meninggalkan ruang kelas karena tengah ditunggu oleh tebengan angkutan. Nahda dititipkan ke rumah Eyang di Dhekawe, kutelfon dia sedang main dengan ponakan. Pada malam hari aku telfon ke kampung, rutinitas ini selalu kulakukan setelah pulang bekerja dan bersantai di tempat yang kusewa ini. Setelah mendengar Nahda yang hanya panggil "Pa.." dan pergi lagi ke Kamar Aya, lalu Mamanya anak2 menceritakan keluh kesah Hanif atas kejadian siang tadi. Konon, karena uang yang dititipkan kepada seorang siswi, ada sisiwi lain yang juga teman SMP senewen kepadanya. SMS dari bocah itu diforward oleh Hanif ke Ibunya. Ada ibu ada mama, yang bener yang mana? kisah kecil anak SMA. Aku bilang ke istriku, tidak perlu dihardik kita arahkan saja sebaiknya bagaimana. Masa SMA hanya sebentar dan pasti akan banyak warna yang berkesan kepada seluruh masa depanya.

Selamat
Pulang ke rumah bukanya membantu meringankan tugas Ibunya, malah tidur lama-lama seperti balas dendam, itu berita di hari Minggu sore dari istriku. Lalu malam harinya, aku telfon Hanif secara paralel dengan ibunya dan kukonfrontir. Orangtuanya kembali mengalah membeli kartu baru, M3ordeodroroeedoeoedoreo apa macam itu? karena Hanif tidak mau pakai Telkomsel. Kutanyakan kegiatan apa pulang ke rumah, dan kami mendengarkan penjelasanya. Ibu dan anak mempertahankan argumen masing-masing. Pada akhirnya kusampaikan kepada Hanif, agar perbaiki sikap. Agar merasa nyaman, jangan pernah menunggu perintah, lakukan banyak hal dengan inisiatif tanpa disuruh, pasti lebih mantap dan terlatih memimpin misi apa pun kelak. Sholat saja kok sampai digubrak-guprak.
Pagi hari tgl 25 Juli, kutelpon tapi tidak diangkat dan beberapa menit kemudian dia membalas, maaf tidak bisa angkat tlf karena Hanif udah masuk. Lalu kubalas ucapan dan untaian doa, selamat ulangtahun ke 15.

Laras
Tadi malam kembali kutelfon Nahda dan semua anggota, setelah semua kebagian bicara, lalu kami ngobrol mengisahkan masing-masing kegiatan hari ini. Aku lebih banyak mendengarkan. Bapak mertua tengah dirawat di RS Margono Purwokerto karena paru-paru. Lalu ia menceritakan Anak sulungnya punya kisah klasik berkaitan dengan hari jadinya, sore tadi katanya dihadang sama Laras, siswi yang sebelumnya senewen itu. Dan memberikan kue ulangtahun bermotif daun lembayung berangka 15 di atasnya, lalu dicoreng-coreng di Muka. Dan sisa kuwehnya dimakan rame-rame sama teman-teman kostnya. Perasaan Bapaknya dulu nggak ada yang begitu... Han..

SILATURAHMI KELUARGA MENUJU AJANG REUNI

Silaturahmi Keluarga yang mulai keluar dari tujuan mulia
Booming Facebook, Booming Reuni Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih, mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam hitungan minggu atau bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya ! Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni, sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu pada teman di masa lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari reuni SD hingga reuni kantor. Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu bisa kita hadiri karena berbagai alasan. Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni : perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya .. Tak menghadiri reuni sebab miskin Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku. Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku itu Fahmi. Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum sudah lama tidak bertemu. Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama " Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin " Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih. Sayaterhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan kalimatnya. “ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “ “ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ?ayolah datang ! yang penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh. Fahmihanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan datang “.Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang. Pertanyaan - pertanyaan yang membuat rikuh ... Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ? apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ? anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja, basa-basi normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan. Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu menjadi sangat sensitif bagi sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder. Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis : HARTA) Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati teman-teman saya. Lagi pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh dari kesan hedonik. Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap , juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar area reuni. Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit, jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti. Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah, menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani, tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik. Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya. Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu, pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya akan melukai perasannya. Fahmi mungkin tidak merasa iri dengan keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ? Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi, hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ? mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun melihat Fahmi, saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni karena miskin. Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya tidak berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap orang-orang yang kesusahan. Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang sifatnya sementara. Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai. Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu, kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Kami hanya ingin berteman denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting lagi.
 
Sumber: Pujinurani

Turing Cipendok Waterfall

Setelah berhasil menyelinap dari ritual lebaran tahunan berupa kumpulan silaturahmi, aku datangi rekan-rekan yang sebelumnya bertandang ke J.Lo Warkop untuk rapat membahas turing ini. Well, komplotan ngglembus ini datang setelelah traweh usai. Senin 04 Juli 2016 jam 21.00 yang pertama datang adalah bos material TB Bontani, Kang Eddy, lalu menyusul Yuyun, Setyo, Winoy, Ramos, Yudi. Setelah rapat mencapai kesepakatan yaitu turing akan dilaksanakan hari Jumat tgl 8 Juli dengan tujuan Cipendok. Track bagus dan tidak terlalu jauh dari kota. Kemudian kami pergi ke ayam kampung goreng Pak Riswo yang terkenal di kota Gumelar itu. Rupanya malam itu Yuyun berulang tahun, dan perbincangan dilanjut di sana. 

Malam-malam berikutnya semua sibuk takbiran, hari raya, kunjung mengunjungi keluarga, semua orang capek. Syahdan, aku bebaskan diri dari belenggu ngandroit sebagaimana yang kusampaikan dihadapan anak-anaku soal sisi negatif smartphone. Maka salah satu dari komplotan ini ada yang sms, bbm direpon dong, kok banyak yang batal turing. Aku tidak hiraukan, karena kekuatan hukum hasil rapat lebih bisa dipercaya dari pada utak atik di BBM, hal yang sudah disepakati kenapa kalian coba goyang-goyang.

Pada hari H, aku menyiapkan segala sesuatu dan meluncurlah ke rumah Wins tepat di teras rumahnya. Pemandangan yang kutangkap adalah orang yang sedang mengepak tas wanita, karena orang ini pengusaha Tas home made. Mantan pekerja di Korea ini memang piawai membuat tas wanita berbagai model. Dengan bercelana pendek sambil bersila ia menyambutku sambil terus sibuk mengepak tas. "Mau ke mana, Nih gagah sekali?", tanyanya sambil mringis. Aku timpali dengan sedikit nada tinggi,"Lah bukanya kita turing hari ini?" lalu dia mulai berdiri dan menjawab santai,"Aku batalkan di BBM, bro". "what?.." pungkasku sambil masuk ke dalam rumahnya salaman sama istri dan anak-anaknya. Lalu aku kembali ke teras dan starter motor sambil pamitan. 

Victim ke 2, Eddy

Di depan toko material itu, aku berhenti dan kupencet nomor Setyo..
Set: "hallo.."
Wong: "Di mana Set?"
Set: "Di rumah..."
Wong:"Udah siap belum? aku di tempatnya Edi, ayo kita berangkat
Set:"Ke mana? lah katanya dibatalkan,.."
Wong:"Siapa yang membatalkan?" (sedikit membentak) 
Set:"Winot di BBM semalam"
Wong:"Kamu siap-siap ditunggu di tempat Edi, buat apa ada rapat kalau masih percaya BBM"
Kututup telfon, dan kupencet nomor Winot

Tiba-tiba suara barang jatuh, "Jederrr.. krumpyang..." dan sesosok manusia terkekeh-kekeh dari balik barang-barang menjulang. Edi rupanya keluar dari rumahnya...

Ed:"huahahahha... aku lagi tidur bro, tiba-tiba mendengar suara mirip Kiswong sedang bentak-bentak orang, 
      Lalu aku penasaran dan keluar rumah, eh kaki nyangkut sepeda dan nabrak batako...
Wong: "Nggak usah ketawa, Man.. ini biang keroknya Winoto, diam dulu aku mau telffon"

Tidak lama, Winoto datang sambil menyungging senyum kemenangan,...Dan di saat yang sama kuhardik habis-habisan tiada ampun. Aku suruh pulang dan berganti pakaian, dan hubungi semua orang yang telah menganggap turing ini batal. Ini tidak bsia ditunda lagi, besok hari Sabtu, aku ada acara di Cilacap silaturahmi keluarga Wisadikrama lalu Minggu pagi aku berangkat ke Jakarta.

Dan akhirnya 9 orang berkumpul dan berangkat dengan perasaan masing-masing ada yang tertawa sepanjang jalan, ada yang bersungut-sungut.

Melintasi Ajibarang, Cilongok ke arah timur menuju Purwokerto lokasi ini bisa ditempuh dari berbagai jalan. Dan kupilih dari pertigaan Losari ke arah kiri, desa Karangtengah. Tanjakanya aduhai, jalannan mulus, udara sejuk. Butuh sekitar 1 jam untuk sampai ke lokasi...

Panorama yang indah, dan seumur-umur baru kuinjakan kaki di sini. Air terjun begitu tinggi dan indah, air cipratanya menciptakan derai embun ke segala arah begitu sejuk. Air sekitar sangat jernih karena murni mineral dari pegunungan Slamet, dan sepertinya ini nyambung dengan gugusan Baturaden. 

Serba Serbi Lebaran 2016 - 1437H

Nahda tengah memperlihatkan naik turun kursi
Mudik lebaran tidak lagi sebagai budaya Indonesia, tapi kalau boleh dibilang sudah seperti industri mudik. Berkah lebaran mencipratkan ke segala arah, semua kebagian. 

Tiket kereta yang lama kusimpan di dalam tas, tetap rapih tanpa lipatan sedikitpun. Aku memesannya 3 bulan sebelum keberangkatan, sekitar akhir Maret aku sudah antri di depan komputer dan tepat pukul 00 langsung saja booking, tapi tetap saja kebagian tanggal 2 Juli malam. Harapan lebih cepat berkumpul dengan keluarga, telat 1 hari. Kereta berangkat pukul 10.00 dari Stasiun Senen dan tiba pukul 03.00 di St. Purwokerto, disambut gerimis yang menyejukan. Di sepanjang jalan kami bertukar info dengan rekan-rekan yang menggunakan moda transportasi darat, semua menderita kemacetan di mana-mana. Dan dapat kulihat, ketika jalur kereta bersebelahan dengan jalur darat dari Brebes hingga Bumiayu, terlihat jelas mobil-mobil berhenti bergerak. Aku menyaksikan sambil selonjor dan merem-merem menikmati laju kereta.
Nahda pemalu

Sampai di Rumah pukul 05:00 dan semua menyambut di teras, kecuali Hanif yang masih di Warung. Ku dekap Afifa Nahda, tapi meraung menangis dengan keras. Pangling rupanya...
tapi tak perlu waktu lama untuk akrab dan dapat memeluknya erat.
                                                                                                                                                                                      
 Aku tidak bisa langsung tidur, meski badan capek, tetapi bermain bersama anak-anak. Dan kupanggil Hanif agar berkumpul di ruang tamu. Kupertontonkan video yang kuunduh dari youtub, tentang seorang laki-laki yang mementingkan Ibunya daripada istrinya yang cantik namun menghina Ibu suaminya. Sebuah pernikahan yang mengharukan, dan mempelai lelaki mengusir mempelai perempuan yang cantik tapi congkak. Kuberikan kultum di pagi hari, agar anak-anak lebih menghargai Ibunya, tidak berkata Ah, apalagi membentaknya.
    Dan kuakhiri dengan membacakan cuplikan puisi dari antah berantah:
Hidup Tapi Seperti Mayat

Bertamu, main HP...
Ngaji, main HP.....
Terima tamu, main HP..
Belajar, main HP
Bekerja, main HP
Sambil makan, main HP...
Di tengah keluarga, main HP...
Kiamatlah duniamu tanpa HP

Kadang terlihat dua orang duduk saling berhadapan tidak berbicara samasekali, karena salah satu atau keduanya main HP. Kalaupun harus bicara akhirnya tidak nyambung dan muncul sikap tidak lagi peduli.

Punya masalahpun bukannya mencari keluarga yang dekat, tapi membahas di sosmed rasanya lebih "afdhol".

Manusia menjadi " ada tapi tiada " sahabat....Jasad jasad yang telah menjadi zombie berkeliaran. Hidupnya hanya seputar dunia dalam ponselnya.

Basahnya embun pagi...
Hangatnya matahari pagi..
Jabat erat tangan sahabat telah hilang dan diganti dengan gambar gambar mati dalam ponselnya.

Gerak hebat akan petualangan bumi juga sudah diganti dengan gerak jempol dan telunjuknya.

Wajah wajah mulai pucat, tubuh mulai ringkih, pahala pahala berterbangan sia sia sebagai resiko terburuk yang mungkin dimiliki. Padahal engkau tidak ke mana mana dan belum melakukan apapun selain menggerakan jempol dan jarimu pada layar kecil nan penuh sihir ini.

Hidup dalam kematian itu adalah keniscayaan, tapi mati dalam kehidupan itu adalah pilihan.
Maka bangunlah!!! Hiduplah sebagaimana manusia itu hidup.

Saat suami/istri datang, simpan HPmu
Saat anak bercerita. simpan HPmu
Saat orangtua bicara, simpan HPmu
Saat tamu berkunjung, simpan HPmu
Saat rumah bau dan berantakan, simpan HPmu
Saat matahari merekah, udara sejuk, angin semilir, burung bersiul, anak anak tertawa riang, sekali lagi simpan HPmu.

Perhatikan duniamu dengan seksama. Sebab nikmat Ilaahi ada di sana.
Hiduplah!!!!
Engkau belum mati tapi bertingkah seperti mayat...
😭😭😭.

Ket: Mayat dan Zombie di sini dimaksudkan adalah manusia tetapi hidup dlm dunianya sendiri, tdk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar
.

Dan libur lebaran tahun ini, benar-benar bebas gadget....
Senyum penyemangat
menghabiskan waktu bermain dengan anak-anak

Menyukai utak atik


Lebaran tiba
Pertama dalam sejarah, Hanif Menangis dalam pelukan Ibunya
Alya, Ambar dan sepupu