Janji terbayar

Pernah niat ngajak seluruh anggota keluarga jalan ke suatu tempat terbayar sudah, memang nggak jauh-jauh amat dan tidak pula terlalu menguras kantong. tapi setidaknya kerbersmaan kami ciptakan dan melupakan sejenak rutinitas, harga2 melambung, listrik naik, rengekan anak, tetangga usil (jika ada), dan lain2,...

cuma ke waduk dan makan siang bersama menu special betutu bu Iin yang kesohor itu



Ngandrenalin, No Fear Like it

Mengingat dan menimbang jalur bus masih saja berada dalam ketidakpastian, namun lebih condong ke arah pasti macetnya. Terlebih saat ini di sana sini lagi digeber perbaikan jalan untuk menyongsong mudik tahunan dalam rangka lebaran 2017. Maka sekarang mudik dibuat mudah terlepas ada duit apa tidak wong tinggal klik di layar pesen Kereta, yang penting kepastian 5 jam jarak tempuh perjalanan dijamin 99% sesuai jadwal. 

Diketahui waisak tahun ini jatuh (gumam:" mencari padanan kata jatuh untuk kalimat ini tapi yang tidak bikin orang memikirkan luka lebam itu apa ya?"), pada hari Kamis 11 Mei 2017. Maka pada awal April sudah kuajukan cuti untuk antara tanggal tersebut, sekaligus memesan tiket kereta dari layar HP. Cekrek...bayar belakangan. Ahli keuangan pasti berdecak kagum dengan gaya ini, bagaimana tidak? aku aja bingung... masalahnya aku bukan ahli, tapi pandai membuat pengeluaran. Prinsip dasarnya: belanjakanlah hartamu untuk kebaikan dan azas manfaat. Pembenaran ini selalu tepat untuku, perusahaan kereta milik Indonesia aku bisa berkontribusi memajukanya, staff dan karyawan perlu makan dan sekolah anak2nya. Lalu dengan pulang, anak2 senang, istri gembira aku bisa sedikit menyumbang kontribusi pendapatan daerah sekian rupiah. Kalau semua orang menggenggam erat hartanya, berpatokan pada keluarkan uang seperlunya dijamin hidup ini nggak asyik. Kita akan kaya sendirian, nggak seru banget. Orang mbule juga kerja keras ngumpulin uang cuma pengin naik kapal pesiar mewah dan pergi ke Bali dan keliling Jakarta, pasti mereka sangat memikirkan ekonomi para perusahaan travel, kerajinan lokal, dan sebagainya. 

Maka Kuambil jadwal yang nanggung, Rabu sore masih bisa kerja dan saat senja kubergegas ke stasiun untuk jadwal 18:30 dan tiba St. Pwt 23:30 nggak mikir ke rumah perlu 2 jam lagi di tengah malam. hhhhhrrgggrrr, tidak ada sama sekali kepikir ketakutan, yang ada mikir bagaimana caranya biar sampai rumah masih di tanggal yang sama dan bisa kuraih kebahagiaan pria yang haus akselerasi piston. Apa terjadi begitu saja? tentu tidak.. ada skenario yang disusun sbb:
- Hanif minggu sebelumnya bawa kendaraan ke kost supaya bisa jemput bapaknya
- Hanif nganterin ke rumah lumayan liburan sehari
Apa skenario berjalan sempurna? tentu tidak..

Hanif berhasil sampai di stasiun sesuai jadwal, dia sudah tidur dulu sebelum ke stasiun. Itu sesuai, Bapaknya yang kemudikan dia  membonceng, kutawarkan ngopi dulu apa langsung pulang, dia bilang langsung aja pak dah malam. Oke kami bergegas, tapi karena aku belum makan malam, aku berhenti di Karang lewas ada ayam goreng kampung, dan kupesan dua sambil ngobrol kupakai gaya humas untuk  bicara dengannya, 
"kamu bareng sampai ke J-Lo kan bareng bapak?",
 "Nggak pak, besok pagi ada latihan di sekolahan"
"Lho kan hari libur, istirahatlah sehari temani adik2mu"
"nggak bisa, pa..soalnya udah janjian sama anak2 lain"
"Kalau gitu, bapak anterin lah besok habis subuh.."
"nggak usah pak, bapak kan capek, mending Bapak yang nginep di kost hanfi..."
Jleb saja rasanya suapan terkahir ayam kampung yang gurih lezat. 
Dan terbayang semua percakapan2 dulu kala dari teman2 atau obrolan orang2 di titik2 tertentu yang horor, sebut saja tanjakan cangkring nan gelap jalan meliuk dan menanjak jauh dari pemukiman dan pernah ada begal. Lalu kuburan Junti membayang karena pernah ada perempuan menghentikan kendaraan dan nebeng tapi menghilang sebelum di tempat tujuan.

Ku ambil minuman jeruk hangat dan sambil membayarnya. Kuantar Hanif ke kostnya, dan kuberanikan diri melawan ketakutan yang diciptakan oleh situasi. 
Sesampai di SPBU Ajibarang, sebuah pinggiran kota kecil sebagai perbatasan keramaian dan kesunyian. Kalau aku balik lagi ke kost anak lanang, bisa malu tak berwibawa, kalau diteruskan apa aku mampu menghadapi ketakutan ini? dan baru pertama kali berkendara motor dari PWT ke Gumelar seorang diri di atas jam 12 malam. Aku tarik nafas menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Swt, masa iya ada orang dipukul sama dedemit... ahh kulaju roda dua madep mantep demi si tobil yang kehausan. ah ah ah...  

Daerah2 angker satu-per satu terlewati, dan paling menguras keberanian adalah tanjakan cangkring, pas malam itu bulan purnama lagi. Mantap sekali... 
Alkhamdulillah pas di dataran tinggi setelah melewati momok seram itu, sudah lega dan adrenalin re-charge 70% (aprox) lalu tantangan berikutnya tidak kuperhitungkan. Dan aman selamat sampai rumah, anak2 perempuanku sudah terlelap semua, istri sudah nungguin dan mengobati segera ngandrenalinku secara merata dan seksama.

Tapal Batas

Wilayah di bumi selalu dibatasi dengan teritorial, namun tidak untuk pikiran kita umat manusia. Ia bebas berfikir sekehendak hatinya seperti ruang angkasa yang entah di mana batasanya. Namun beberapa fitur manusia berupa rasa selalu ada titik tahapnya. Tapi entahlah, apakah itu sebuah batas atau justru tidak terbatas. Mari kita lihat...

Kita melanglang buana kembali ke jaman baheula, saat belum ada kemajuan teknologi berarti saat itu. Dan jika sudah ada teknologi tinggi pada saat itu tentu sangat ekslusif dan hanya dapat diakses oleh orang tertentu. Kita lupakanlah itu..

Bermain petak umpet, kelereng, layang-layang, membuat rumah-rumahan di Sawah saat musim kemarau, membawa Radio. Beranjak besar, berusaha berjibaku bareng teman-teman dan membuat apa yang namanya senasib dan sepenanggungan. Menunggu menjadi bagian kegiatan manusia entah sejak kapan, tapi pada masa 90-an, menunggu tetap saja seperti biasa, duduk atau nongkrong atau mondar-mandir entah sambil membaca komik, koran atau novel Fredy S. Waktu berlalu, semua berubah dan beruban. Mendengar lagu-lagu dari radio begitu asyik, lalu ada tape kita bisa sesuka hati memutar lagu dari artis kesayangan kapanpun. Lalu ada CD dengan kejernihan suara dan kepraktisanya, lalu mendengar saja tidak cukup lalu TV menyajikan hiburan, lalu mendengar dan menonton saja mulai menjemukan lalu 'budaya baca' meningkat yaitu membaca dan menulis keresahan hati dan pikiran di Sosmed. Smartphone dan kuota menjadi kebutuhan pokok baru setelah sandang pangan papan, pokoknya seperti itu ceritanya. Panutan kita bias, karena tiap hari kita sudah dijejali status-status yang tiba-tiba seperti pendakwah dan motivator, yang bahkan pabrik kata-kata dari motivator terkenal setelah dibaca ulang seperti tidak bermakna.