Ada asap ada api (A4)

Detak jarum jam terdengar keras ketika di malam hening. Jam dinding tua yang tidak bermerk, tanpa kaca, dan hasil modif yang tidak menarik. Mesin jam pun sudah diganti dengan mesin jam dinding eceran yang ku beli di pasar grosiran. Jam ini selalu saja telat walaupun sudah dipaskan dengan jam handphone maupun jam tangan. Aku juga tidak pernah menyetel arlojiku lebih cepat agar tergesa-gesa, atau memperlambat agar terasa santai. Semua normal dan mengukuti standard. Itu soal waktu yang dari detiknya saja bisa diatur sesuai selera kita. Seharusnya aku tak perlu merasa kehabisan waktu.

Kejenuhan selalu datang menghiasi ruang rindu justru ketika terbalut tebalnya waktu. Hidup di ibu kota yang tidak pernah tidur namun bagiku terasa seperti hidup ditengah hutan. Percuma tiada guna keluh kesahku karena tak pernah menipiskan waktu apalagi menghalangi kuntum rindu akan hadirnya cita rasa berkeluarga utuh.

Inilah titik tolak rawanya sebuah mahligai kepercayaan. Aku tenggelam dalam pekerjaan lalu pulang ke sebuah kamar tanpa anak dan istri menyambut. Lalu membenarkan diri untuk larut dalam obrolan maya dengan banyak kawan yang entah berada di mana mereka semua. Penat seketika hilang, derai tawa pecah di kesunyian. Lalu tergeletak merejam kelelahan. Gadget smartphone memanjakanku akan banyak hal. Sekarang aku jarang memegang kertas atau buku tulis untuk sekedar membuat sketsa atau catatan kecil. Waktu luangku untuk buka aplikasi ini itu. Dan mencari aplikasi baru dari google market semua terasa mudah.

Kini berteman telfon pintar tapi otaku terasa buntu dan tambah bodoh. Sesungguhnya siapa yang bikin biang kerok kecanggihan dunia hingga aku terseok-kecanduan teknologi macam ini.  Mana waktuku buat mengamati banyak hal, memikirkan usaha kreatif, mengkaji ayat suci. Mana ke mushola di pagi hari yang segar berkumpul membentuk barisan.

Aku bukanya tidak sadar, aku sangat menyadarinya. Sampai pada akhirnya aku musti sibuk menghapus jejak setiap akan mudik ke kampung halaman tercinta. Karena aku yakin banyak api membara yang tersulut karena dunia maya. Namun aku juga tak kan lari untuk tidak mematikan asapnya.

Kuhela nafas dalam, pertanda asap dan api tembakau mulai meredakan penat dan tekanan hidup namun sesungguhnya ia sedang siap melukai siapa saja bagi yang kena candunya. Begitupun kepulan asap maya....