Berbagi (Modus) kehilangan

Kalau ada yang bilang kalau perempuan itu penuh misteri, memang benar adanya. Bagaimana tidak, bahkan
untuk orang paling dekat sekalipun, entah itu se-darah, maupun se-ranjang tetap saja masih sering menyisakan jelaga misterius. Kalau saja ia bukan terbentuk dari tulang rusuk pria, mungkin saja perang antar beda kelamin sejak lama bergejolak. Di sinilah peran kaum adam sesungguhnya, harus bertugas membuka tabir misteri tersebut. Kenapa sih, tidak sumringah sepanjang hari maka deretan aura dan setrum kebahagiaan memancarkan frekuensi kebahagiaan bagi seisi rumah. Kenapa sih, kalau memang uang sudah bukan jadi masalah, ada saja yang dikhawatirkan. Lalu kalau sudah merasa terjadi lebih dulu penuaan dini malah makin jadi rasa cemburunya. Cemburu pada entah siapa, pada handphone kali. Hu um, pada hp bisa jadi. Cuma mengandalkan senjata 'wanita pengin dimengerti' mah sudah pasti melemahkan citra kegagahan kaum adam atau justru itu malah jadi bumeran bagi para wanita. 


Aku sedang tidak membicarakan perihal gender dan kesetaraanya, tapi aku lebih tertarik kepada perbedaan dan kodrat masing-masing. Kadang aku suka menganggap istriku sebagai teman sejati, teman ngobrol, teman tidur, dan teman musuhan. Musuh utamaku adalah ketika menelpon tidak kunjung diangkat. Apakah aku berhenti untuk tidak mengulangi, redial? tak...! aku justru kian menikmati rasa penasaran kenapa tidak diangkat, bahkan udah 10 kali berdering yang seharusnya muncul di layar sana ada 10 missed call juga. Dan ini sering sekali menjadi bahan permusuhan paruh waktu, dan hanya terjadi beberapa kali dalam seminggu. Bahkan pernah kuterjemahkan dengan gamblang, hand itu tangan, phone itu telfon maka arti harfiahnya seharusnya telfon tangan, tapi kenapa naru hp di dompet, di lemari. Sangat tidak produktif, padahal semangat awalnya adalah sudah ancang-ancang berbagi ceria dan kabar baik. Maka, bila sudah demikian, tak kusangka aku bisa seganas Mell Gibson yang hanya cuma kehilangan kancing baju coboynya ia membabi buta dan menembakan senapan ke segala penjuru. Tidak seperti itu juga sih, tapi drama desiran darah di dalam tubuh seperti demikian. Kenapa nggak aware, kenapa tidak meniru perilaku-ku yang sudah memberi contoh dengan baik. Sms cepat dibalas, dering hp tak lebih dari 2 kali sudah diangkat. Entahlah, ini konyol dan sulit diterima sebagai hal yang perlu dibahas. 

Di sini pembedanya, kalau hidup berumah tangga tinggal dalam satu atap tentu saja mungkin buka kisah
sederhana seperti ini yang muncul. Sering sekali aku gurui bahwa kuncinya adalah komunikasi, mau itu hal penting mau itu hal yang hanya memperdengarkan batuk atau dehem. Mau itu urusan bisnis trilyunan rupiah, atau cuma jadi broker kayu bakar ada proyek pengaspalan jalan di ujung desa. Mengelola emosi dari jarak ratusan bahkan ribuan kilo meter memang masih jadi hal yang sulit sampai sekarang.

Dan mendiamkan adalah sanjata pamungkasku yang paling digdaya sampai detik ini, dan tentu saja anak-anak dan istri tak bertahan lama untuk diam tanpa sapaan lewat gelombang suara yang dipancarkan dari satelit. Dari situ saja, aku mendapatkan rasa syukur atas karuina Allah yang menciptakan langit, kok bisa-bisanya bisa ditempeli satelit lalu udaranya bisa merambatkan lalu lalang gelombang suara di setiap detiknya. Di balik caci maki kemarahan, melintas keindahan merasa kecil di hadapan Illahi.

Tekad ini hanya cukup datang dari hatiku saja, karena belahan hatiku sudah sangat lama menanti dan siap dengan hidup dalam kebersamaan. Ia selalu menguatkan dan menyemangati bahwa ahlak anak-anak lebih penting dari dunia dan seisinya. Apa arti dunia yang bisa ku genggam bila Nipong dan Aya tidak taat pada orang tua? tidak peduli pada alunan azan?, cuma segan kepada ayah, dan kompak bikin kesal ibunya. Tentu saja, ini menjadi belahan-belahan kecil kemantapan hati yang keluar dari remahan-remahan keraguan. 

Setiap ada moment kemantapan, ada saja hal baru yang harus rasakan dan tanggung jawab baru yang harus kuemban. Padahal, anak itu makin besar makin punya watak sendiri, ini yang kukhawatirkan karena tanpa sentuhan tangan ayah secara langsung. Kalau sudah begitu, serangan bimbang menyerang bertubi-tubi dari arah waktu mana saja. 

Kesetiaan adalah harga mati dari sebuah hubungan mahligai perkawinan, dan ini sangat dijunjung tinggi sama ibunya anak-anak. Seharusnya aku juga turut menjunjung tinggi itu, tapi sudahlah, setiaku sudah terbukti tak terbantahkan lagi. Kalau cuma ngurus wanita lain, hanyalah senda gurau karena masing-masing punya kehidupan sendiri yang tak mungkin harus memasukinya. Seharusnya kesetiaan jenis ini ada kriterianya sendiri, atau hanya cukup laki-laki saja yang jago membual, perempuan jangan. Atau bagaimana? no excuse? Toh aku tidak membagi hati (lagi) sedikitpun kepada siapapun. 

Cuaca siang hari ini, kota Bontang sangat panas apalagi daerah Loktuan yang dekat sekali dengan laut. Sudah terjadi hitung-hitungan dengan si Aya, tgl enambelas berapa hari lagi. Aku bilang, tulis di papan lalu hitung tiap hari. Iya, katanya tapi pesenanya minta ampun. Jam tangan, susu, cokelat, baju, barbie, kitek arab, cukup ku iyakan saja. Semoga dia tidak ingat semua, tapi nggak mungkin dia pasti akan tagih semua, ngatanya entah kenapa sangat kuat. Apa yang kuucapkan harus hati-hati karena anak perempuanku jago menagih. Beda sama senior, nipong hanya pesan sepatu bola. Dan kuciwa sekali hari ini mendengar laporan tidak berangkat shalat Jumat. Kalau lagi bareng, beeuhh sregep sekali, sampai mau ngamuk dan ndamprat anak laki-laki yang sering bikin nangis mamanya nggak tega lagi demi melihat mereka bahagia di tengah berkumpulnya keluarga. Tapi, lihat saja nanti ini harus jadi pelajaran yang keras bagi calon pemimpin keluarga dan bangsa.