Obong-obongan

Obong-obongan runggang
Memutar waktu ke masa silam saat aku kecil dulu, di mana suasana desa yang masih perawan belum ada kontaminasi peradaban modern. Rumah penduduk jarang-jarang, pemilik pesawat tihwi hanya pemuka. Kegiatan anak-anak sebayaku sepulang sekolah kalau tidak bermain di halaman paling ke kali atau ke hutan mencari kayu bakar atau ikan. Permainan yang kami lakukan juga sangat sederhana, namun demikian sarat akan kompetisi. Sebut saja ceprot, permainan ketangkasan berupa karet yang digulung dan ditembakan ke ke sebatang kayu pendek yang ditancapkan di tanah. Barang siapa memasukan ke batang kayu, dialah pemenangnya.
Di sini juga terjadi transaksi biasanya barter karet dengan wayang kertas atau kredit beberapa karet gelang nanti bayarnya kalau menang. Permainan berikutnya yang tak kalah seru adalah dir diran atau kelereng, juga penuh kompetisi pribadi. Untuk permainan kelompok dan mengedepankan kerja sama tim adalah gobag sodor. 

Rumah-rumah kebanyakan masih berdinding bambu, maka nyaris tidak ada rahasia di dalam rumah, karena setiap pembicaraan mudah saja untuk didengar. Dan hawa dalam rumah juga semriwing karena banyak kisi-kisi dari ventilasi lubang anyaman yang tidak sempurna rapatnya. Pawon adalah bagian vital dalam ruangan paling belakang, di sanalah tempat kami sering menghabiskan waktu untuk obong-obongan dan ngesur geni karena disuruh atau karena inisiatif. Meracik api di pawon tidaklah mudah, tapi juga bukan perkara sepele karena susah-susa gampang. Kalau belum mahir, maka yang terjadi pawon menjadi penuh kukus alias asap membumbung dan mengisi seisi rumah. Harus tersedia material yang mudah terbakar untuk pemicu api, sebut saja blarak (daun kelapa kering), atau tatal (bekas serutan kayu), kalau rotekan (sebutan untuk material mudah terbakar) sudah jadi api, tinggal memasukan mulai dari kayu kecil yang kering lalu kayu agak besar, biarkan sampai terbakar sedikit demi sedikit, tidak dianjurkan untuk ngesur (mendorong) kayu ke dalam pawon sebelum api benar-benar besar. Ini juga berlaku pada ritual lainya, mau itu yang indah maupun yang agak sentimentil, semua perlu alur yang tepat agar hasilnya maksimal.

Tapi anehnya, anak-anak kecil yang senang obong-obongan selalu divonis oleh orang tua katanya jadi kebluk (pemalas), dan sampai sekarang masih belum ketemu logikanya. Hanya meraba-raba saja, apakah karena hangat lalu jadi enggan pergi dari perapian? atau ada motif lain aku masih tidak mengerti. Tapi bagenlah, bagiku obong-obongan di mburitan (belakang) rumah di dekat kandang wedus bersama si Kaki buyut lebih seru, apalagi kalau sepulang ngramban si Kaki bawa jagung atau ketela buat diberangus di dalam api yang merengangah. 

Sekarang banyak kutemui orang yang senang bikin api, namun abstrak bukan api yang sesungguhnya. Kecenderunganya malah bermain api, entah itu api asmara atau api gairah tak biasa. Entahlah, mungkin aku juga suka bikin ngebul saja, tapi tanpa harus ada api yang menyala. Paling hanya bikin sesak dan seperti kabut dalam rumah hingga menghalangi pandangan saja. Kalau sudah begitu, obong-obongan jenis ini nyaris tanpa makna, dan harus segera di siram air se ember biar tidak makin mulab-mulab.