Melalanglang mBuana

Di mBontang, Kalimantan Timur 

First step: jalan kayu Taman Nasional Kutai
Kujumpai banyak montor yang lalu lalang. Kota yang tengah berkembang pesat, namun tidak kutemui mini market yang memadai, tidak ada mart-mart seperti di Jawa sana. Yang kujumpai adalah R*mayana sebagai tempat pusat perbelanjaan. Ternyata saking melimpahnya sumber daya alam, penduduk di sini terlihat makmur kalau dipandang dari sisi sosok perumahan, mobil yang mereka tumpangi. Bahasa yang dipakai sehari-hari adalah bahasa Indonesia dengan logat lokal yang khas seperti melayu. Ini kota yang majemuk dan sepertinya terdiri dari banyak urban dan banyak pula kujumpai bahasa Jawa di sana sini.


sorotan hulubalang
Ini hari ke 11 di tanah Borneo, menjelang liburan Natal dan tahun baru 2014 banyak perusahaan libur dan bertepatan dengan libur anak sekolah. Aktivitas sampai beberapa hari ke depan sementara belum ada, maka kumanfaatkan untuk me-review laporan kegiatan sampai hari ini. Dan tentu saja ini waktu yang tepat untuk melepas penat setelah hampir 2 minggu disibukan dengan berbagai rencana yang kerap berubah, dan simulasi transporter ke vendor sudah dilakukan dengan lancar. 

Menjelajahi Taman Nasional Kutai hanya berdua dengan rekan kerja, Acid Junot yang sebentar lagi akan
melepas masa lajangnya 4 Januari mendatang. Semoga pernikahanya lancar dan bulan madu ke bali juga hot sepanas cuaca di mBontang ini. Parkir tepat di depan gerbang utama TNK, jalan raya menuju ke lokasi termasuk mulus, bisa dijangkau dari Samarinda atau Bontang menuju Sangata, namanya Jalan poros Sangatta. Untuk tarif masuk ke taman cukup hanya uang kecil Rp. 1.500, menapaki jalan setapak yang sudah disiapkan berupa jembatan kayu sepanjang 4KM. Saran dari petugas jaga, kalau sudah mentok jalan kayu tersebut dan bertemu dengan kayu-kayu besar agar kembali ke posko. Alasanya, keamanan sudah tidak bisa dijamin, karena dikhawatirkan bertemu binatang buas. Aku dan kawanku menyusuri jalan kayu, sepanjang perjalanan sambil tengak tengok mencari orangutan, atau burung borneo atau apa saja yang tidak pernah kujumpai sebelumnya. Nihil...! hanya kayu2 menjulang dan akar-akar raksasa yang mengguita. Namun kekecewaan tidak bisa melihat binatang2 yang seperti pada papan nama di gerbang tadi, terobati dengan kicauan burung-burung asli Kalimantan. Suaranya bersahut-sahutan seperti sedang menyambut kami.
Dan rasanya kami sedang berada di chanel National Geographic ala TV cable. Padahal lumayan merinding, dan hari sudah mulai sore, kami adalah pelancong terakhir, tak ada seorangpun lagi tersisa di dalam hutan. Lalu kami memutuskan untuk kembali ke Posko tanpa menghabiskan track terakhir pada jalan kayu itu.

Aku mikir lagi, kenapa wong ndeso plesir ke hutan? namaku saja sudah wono (hutan) dan di belakang rumah di J-Lo (Jambenom Lor) sana juga hutan lebat yang dikelilingi pakis dan tanaman slempat. Paling binatang yang ada hanya nggarangan, gogor, ayam-ayaman, dan kalau lagi beruntung suka ada kurwok kalau hari petang menjelang di dekat sawah. Tapi ya biar saja, wong ini di Negeri yang berbeda. 

Malam ini hujan rintik terdengar menetes, tak seorangpun ada di jalan kompleks atau nongkrong di teras sekedar menikmati turunnya hujan. Aku saja yang entah bagaimana sejarahnya selalu merindukan turunnya hujan, dan menengadahkan tangan agar dentuman rintik hujan menghunjam ke telapak biar sensasinya dapat. Sebatang rokok ringan menyelip di jepitan jari, kekepulkan asap kejenuhan membumbung ke awan dan terhisap oleh butiran hujan yang kian rapat barisanya. Ku merindukan seonggok daging yang tersayat sedikit saja agar tidak terlihat sobek sekali, dan inilah moment pertama kali jauh dari kejauhan. Merantau di Jakarta saja sudah kurasakan jauhnya, ini kian jauh saja dari serta mertanya kerinduan sebuah lengkuhan panjang.