Ngidek tembelek

Hari yang memuakan, langkah yang cepat dan energik, beriring siul pula harus tersadar dari lurusnya pandang. Kaki ini tak beralaskan bakyah atau sepatu, karena jalan begitu mulus dan kering. Tidak ku khawatirkan sedikitpun licin atau becek. Lagi, mata kaki ini sudah hafal ke arah mana jalan ini menuju. Tapi apa lacur, tiba-tiba aku tersentak dengan perasaan yang hangat, empuk, dan becek didalam serasa menjalar dan menempel di telapak kaki ini.
Aku tak mungkin melanjutkan langkah ini, tapi berhenti pun tidak mungkin, karena tembelek ini begitu menyengat, sepertinya baru keluar dari tempat yang sama ketika telur ayam menetas. Aku menoleh ke belakang, dan memperhatikan untaian tembelek ini nempel di telapak kakiku.
Mestinya ada rumput tebal untuk menggosokan telapak kaki ini, tapi sejauh mata menatap tak kujumpai rumput liar yang bergoyang karena terpaan angin. Aku mengorbankan air mineral yang kian hari kian mahal saja harganya hanya untuk menyiram dan membersihkan tembelek lancung ini. Sungguh menjijikan, tapi aku berterima kasih kepada ayam yang ia sendiri tak pernah tau tempat yang tepat untuk mengeluarkan kotoran. Tapi anehnya ayam ini tahu bener ke mana ia mesti mengeluarkan telornya, -petarangan nama tempatnya. Bahkan aku bisa belajar dari ayam yang EE dan menimbulkan telapak kakiku tanpa menyadari menginjaknya. Konon, air yang turun, burung yang terbang, daun yang jatuh dari pohonnya seluruhnya dalam perhitungan-Nya.
Jikalau, karena ngidek tembelek ini menjadi moment indah untuk berhenti sejenak dan merenung atas kejadian demi kejadian. Namun jika apapun yang terjadi tidak membuatku berfikir, maka akan berapa kali kaki ini mesti ngidek tembelek. ha..