Ilmu padi

Dengan merantau aku bisa memandang sesuatu tidak sesempit dulu, ketika masih berada di kampung sana. Sekarang hiruk pikuk otak dan perasaan seperti ruwetnya jalan di ibu kota yang konon akan dipindahkan ke Purwokerto (kali). Merekayasa situasi, jalan pikiran dan lain sebagainya seperti suatu keniscayaan kalau hidup di tengah kota seperti ini.

Orang agak pinter pernah punya moto: jadilah ikan, meski ia berenang di lautan ia tak ikut asin karenanya. Moto ini gagal kuterapkan, karena banyak faktor yang tidak perlu diumbar di sini. Namun banyak pula yang dengan tabah bisa menerapkan semboyan itu, dan benar-benar masih bisa kutemui orangnya yang masih setia dengan keadaan sebelum urban di mari.

Rumah internetku ini di wilayah pojok gunung dan nyaris tak seoranpun dapat melihat ini apalagi mampir ke sini. Ini hanya rentang dari janggalnya rasa dan pikiran yang terus mengobarkan semangat untuk menulis. Tidak perlu memikirkan siapa yang sudah membaca, dan kenapa tidak menanggapi. Tapi mana mungkin, di internet aku tak bisa sembunyi dari manapun. Paling aman menulis memang hanya di buku diari yang setelah menulis kutaruh buku itu di tempat yang aman.

Dan tak perlu pula aku bercerita tentang apa saja yang sudah kulakukan, tentang berapa banyak uang yang kubelanjakan, tentang pengemis mana yang sudah kuberikan sumbangan. Mana mungkin aku membuat orang lain iri dan derita sosial yang mana jaman ini rentan terhadap dampak sosial.

Allah, curahkanlah rasa aman dan tenteram dalam sanubariku agar menjadi sosok yang amanah, jujur dan jauh dari hal-hal yang membuatku buta kebenaran. Kekayaanmu yang mahal luas, dan beberapa mahluk-Mu sudah kau beri sesuai kehendak-Mu. Dan ketika kehendakmu jatuh kepadaku, tunjukanlah aku jalan yang kau rahmati. Jauhkan dari sikap riya dan ingin dipuji oleh sesama.

Aku ingin meniru untaian padi, yang ketika berisi semakin menunduk.

Pencapaian dunia memang sangat menggoda kita untuk ujub dan seringkali membuat orang lain iri.