Mentari terakhir di senja Juni


"Aku masih di pantai kute, Bali, sampai 2 hari ke depan," suara lirih di gagang telfon.

"Lama sekali, pulang sendiri ajah, Rin" Pinta Joyev dengan bersungut-sungut.

Mereka terlihat bercakap melalui telfon dengan serius.

Joyev memasukan hp ke sarungnya yang sudah lusuh dengan resleting yang sudah mulai macet. Kemudian kembali masuk ke kamar dan menerawang. Ia gelisah dengan rasa kangen yang berkobar setelah ia ketahui, kekasihnya pergi bersama teman-temannya untuk berpiknik. Ia tahu resiko yang akan dirasakannya ketika memutuskan untuk tidak turut serta karena kesibukan kerja.

Sementara itu, Sarinah terus membidik pemandangan dengan kamera SLRnya yang berat. Sesekali merangkak di pasir putih mengejar kerang yang berjalan lambat. Ia memisahkan diri dari kelompok wisata tahunan yang diadakan oleh perusahaannya. Setelah puas membidik semua sudut pemandangan dan mengabadikannya, ia kembali ke hotel dan mandi.

Malam beranjak, Joyev menghisap kejenuhan dengan sebatang rokok yang disulut dengan korek api kayu dengan kotak bergambar durian. Ia mengamati bahasa aneh yang tertulis pada kotak korek itu. Detik yang ia lewati satu demi satu tidak membuat malam beranjak cepat menjadi pagi. Ternyata teramat berat beban perasaan yang harus ia pikul dengan cinta yang tak seimbang itu. Hari-harinya merupakan siksa yang sulit dibendung kecuali dengan menghabiskan waktu dengan bekerja. Dan inilah hari minggu yang belakangan ia benci jika tanpa kehadiran Sarinah.

Hp berkasing merah itu bergetar, panggilan masuk bertuliskan Sarinah tertera di layar mungil itu, dengan sigap, Joyev menyergap hp itu.

“Hallo…?”

“Joy, kau lagi apain?”

“hhhh…” menghela nafas, Joyev

“lagi nunggu kabarmu, di sini sudah gak karu-karuan, kau dengan santainya main game.”

“Hei, denger dulu.. kau pasti salah sangka, aku di sini tadi main game, permainan sama teman-teman, ada tebak-tebakan dan lain-lain.” Jelas Sarinah

“kenapa gak bilang?”

“Kenapa kau gak Tanya?, kalau Cuma main game di henpun atau leptop buat apa? Mana pernah aku mengabaikanmu dalam keadaan senggang.” Suara Sarinah mulai meninggi

“Ya sudah, aku minta maaf, rin..”

“Iya nggak papa, hmm.. kenapa belum tidur jam segini?”

“Nunggu kabar dari kamu, aku kangen…” Joyev dengan nada yang mulai melembut

“iya, aku juga..”

Mereka berbincang di telfon sampai larut malam. Di ujung timur sana, seorang perempuan sedang duduk di balkon hotel menghadap laut sambil memandang langit. Sesekali tersenyum, tak jarang pula ia kelihatan sedih. Tiba-tiba ia mematikan hp dan memasukan ke kantong switer hitam yang dikenakannya, seorang Pria memanggil.

“Rin, masuk..! udah malam, kenapa belum tidur?”

“Ah, ayah bikin Ayin kaget ajah..”

“Telpon dari siapa rupanya?”

“Dari teman sekolah di Jakarta, Yah..” jelas Sarinah kepada pria yang berdiri di dekat lorong kamar hotel, yang ternyata Ayahnya.

Joyev hanya bengong memandangi layer hpnya yang tiba-tiba mati, dan tidak menunggu lama kemudian sebuah pesan masuk yang mengatakan bahwa ia dipanggil ayahnya karena sudah malam dan mengucapkan selamat tidur. Hatinya belum puas ngobrol untuk melepas kangen bersama kekasihnya yang ia kenal 2 tahun yang lalu. Malam minggu itu ia habiskan menonton televisi dan sesekali menjawab sms dari orang yang ia sayangi.

2 tahun yang lalu, Joyev mengenal sosok Sarinah tanpa sengaja dan bertemu begitu saja di suatu tempat ketika ada pameran foto di sebuah galeri di kota Langitan, Tuban. Dari mulai membahas hasil bidikan hingga kamera, mereka cepat akrab dan adaptasi. Karena belum terlalu mengenal, Joyev yang sedikit urakan dan tidak tahu anggah-ungguh, dan ceplas-ceplos membuat Sarinah sering mencibir dengan kata-kata seperti: gembel, gambleh, halah tapi di awal percakapan itulah membuat mereka masing-masing merasa seru untuk bercanda. Dan hampir selama sebulan itulah mereka bertemu dan bercerita satu sama lain mengisahkan asal muasal dan sejararah masing-masing

bersambung...