Kisah klasik

Minyak Brisk rambut bertutup hitam, isinya putih pasta halus bagai odol. Ia tergeletak selalu di atas lemari bifet di kamar Ayah. Malam minggu ini pengin apel ke rumah si dia, meski belum berkenalan, hatiku mendesak seperti harus ke rumahnya, lantaran tadi siang bertemu dia saat pulang sekolah. Hanya bermodalkan senyum dan tunduk malu, aku beranikan diri untuk kenal lebih lanjut siapa dia gerangan. Terasa kuat sekali tutup minyak rambut ini ditutup oleh Bapak, ketika aku mencoba join minyak ini dengan menyelinap ke kamar Ayah. Ibu sedang bercengkerama sama Eyang kakung di teras rumah ketika bulan purnama di musim kemarau nan dingin Agustus 94. Ayah belum pulang tugas menjaga hutan yang saat itu banyak pencuri kayu di gelapnya malam. Meski besok harus kembali ke tempat kos yaitu di rumah Klawer tapi aku akan rela ngantuk di perjalanan ke kota Purwokerto daripada kehilangan momen remaja yang tak kan mungkin bisa diulang. Harumnya semerbak dan membuat rambutku rapih seketika, model sempongan khas Harmoko kusematkan dengan sisir yang telah banyak rontok giginya. Lalu datang ke Ibu meminta ongkos, aku yakin pasti dikasih meski harus mendapat banyak pertanyaan dan omelan, dari mulai minyak rambut, sekolah, dan tuduhan apel belum umur, tapi tidak akan mungkin mempan dengan segala nasihatnya. 

Ongkos dapat, keren juga dapat, seorang teman dengan motor doyok CB100 sudah menunggu di Gardu dekat sumur seberang jembatan. Aku harus menutup telinga ketika temanku harus njegleg motor tanpa knalpot dengan suara seperti halilintar, bahkan orang sudah terlanjur menamai sebagai helikopter, karena suaranya yang tidak gurih.

Jalan yang harus ditempuh adalah separuh aspal dari tempatku, dan di batas dusun adalah jalan dengan batu terjal, remang-remang cahaya bulan makin menggenapka romantisme yang terus ada di benak. Masih jarak satu kilo saja, perasaan ini makin aneh dan jantung berdetak kencang, bibir mengering dan sering menelan ludah, kelu dan terus menguras kata-kata yang akan terucap sebentar lagi. Ah, benar-benar konyol dan tidak masuk akal, kenapa harus muncul perasaan aneh seperti itu. Padahal aku yakin dia yang di rumahnya jangan-jangan sudah tidur, atau sedang belajar kelompok dengan teman-temannya. Tapi malam minggu, seharusnya ia libur dari berbagai ilmu sekolah yang kelak entah dipakai entah tidak, atau jangan-jangan bahkan ia tak memikirkan pertemuan tadi siang sama sekali. Rumahnya yang manapun harus turun dari kendaraan dan menanyakan kepada orang yang sedang siskamling, heran... di sini belum ada listrik... Begitu sunyi, dan gelap.. tapi tetap saja aku memikirkan suasana romansa. Bulan di langit mulai tertutup awan, dan temanku harus putar balik meninggalkanku di pelataran rumah si gadis, ia musti ngapelin gendakannya. 

Kuketuk saja pintu rumahnya, terlihat dari balik jendela kaca dan hordeng yang terbuka sedikit, di dalam ada lampu minyak dengan cahaya merah keemasan. Sepi... tak terlihat orang, tapi sepertinya di belakang ramai, mungkin warung, pikirku kemudia. Tak ada sahutan, sampai akhirnya ada seorang perempuan muda membuka pintu....

Sampai disini, dulu my friend.... selamat bermalam minggu.....
lupa, cerita selanjutnya....

tahu begini mah, dulu ngapain harus deg-degan segala....