Pelosok

Jakarta minggu pagi yang dingin, tertera di hapeku suhu menunjukan 25°C. Sepertinya semalam hujan rintik telaten sampai subuh berkumandang. Bukan hal baru bagiku untuk terbangun pagi subuh dengan tangan menggapai2 seoalah ada tubuh hangat di sampingku. Terbangunlah dan kembali tidur dengan senyaman mungkin.

Kali ini bangun kedua kali untuk gerak gerik seperti biasa. Nggulung spre yang sudah terasa kasap (r) dan beberapa noktah bekas hujan rembesan dari plafon. Bau khas tubuhku lepas dari deru angin saat spre kutarik kasar yang terjepit kasur. Kata istriku bau yang harum. Ada2 saja rayuan seorang istri kepada suaminya.

Meski matahari tak bersinar sepanjang hari ini aku tetap melanjutkan mencuci dan menjemur baju. Tugas ganda membuatku garang dan teguh terhadap keyakinan bahwa perempuan itu sangat kuat dan tahan banting. Ia cuma dibekali perasaan halus saja sehingga pekerjaan soal belakang dilakukan dengan penuh suka cita. Maka aku tak pernah heran bila pekerjaan rumah tangga dihiasi wanita.

Yang mereka komplain biasanya adalah semua pekerjaan rumah tangga yang dilakukan tidak pernah terlihat. Beda dengan suami yang mayoritas sebagi pencari nafkah. Tindakan semena2 sering ditunjukan suami karena merasa dominan. Padahal yang ideal adalah bahu membahu. Aku tak segan membantu mencuci apabila istri sedang kerepotan atau sedang menderita sakit. Aku juga bisa memandikan anak, membetulkan letak genteng penyebab bocornya rumah. Namun sungguh sayang itu semua kulakukan karena jarang bertemu.

Pelosok menjadi takdir kami memiliki tanah lahir di ujung desa berdampingan dengan hutan punus. Sekilas orang mendengar tentu seperti firdaus saja hidup di dekat hutan dan melintas sungai jernih. Ya, hidup memang pilihan dan kami memilih cara ini meski pilihan yang pahit. Di balik pahit selalu ada manis, itu pasti dan terbukti.

Pulang dan pergi dari dan ke jakarta menjadi tantangan sendiri.namun ternyata tanpa kusadari sudah kulewati puluhan tahun.

Untuk melihat kota kabupaten saja perlu menempuh jarak 35km dengan waktu kurang lebih 2 jam. Maka ketika keluarga dari kampung ini datang ke kota kami seperti kisah kabayan. Terutama si kecil yang teriak2 dan berlari ke sana kemari aku hanya memperhatikan saja sambil tersenyum. Terlihat mamanya kerepotan harus menarik tanagn si kecil yang berontak dan melerai liarnya teriakan si kecil dengan sssstttt ampun berisik. Aya menciptakan keramaian di tempat keramaian. Si kakak terlihat cool tanpa banyak bicara seperti biasa.

Sudah mau jam 11 tak seorangpun menawarkan makanan itu tandanya aku segera mencari. Itulah bedanya kota dan pelosok...