Sewu kuto, sewu rai

Seribu kota, Seribu Wajah..

Dari mana kau berasal, akan menampilkan dirimu. Aku yang berasal dari kampung dengan wajah ndeso dan penampilan katro dan setiba di ibukota tak banyak berubah dari caraku menampilkan. Seharusnya berubah nggak sih ya? Aku pengin sangar dan garang, tapi pernah kucoba dan gagal maning.

Ada sebuah kisah, dari ndeso juga..Ia dulu ya serupa denganku, ya ndeso ya dari kalangan wong penginyongan. Tapi sekarang karirnya sudah mulai menanjak, dan tentu saja status sosial aka mengikut dengan sendirinya. Kehidupan membaik, segalanya berubah... Keramahanya berkurang, kedatangannya pada kerabat dan teman juga tidak lagi berimbang. Pasti itu semua bersembunyi di balik jubah kesibukan. Tapi ada yang sedikit aneh, anak-anak dan ia sendiri yang dulu panggil mama kepada istri dan emaknya, mereka kini sudah memanggil Bu. Itu baik.. sesungguhnya panggilan terbaik... tapi apa iya harus menunggu di kelas tertentu ketika memanggil Bu? Atau ini gejala sosial di Indonesia saja? Lah di Arab, semua anak akan manggil ummi kepada ibunya, di Amrik akan memanggil mom kepada ibunya...

Lalu?




Dan kalau berhenti cuma disitu, mungkin tak akan mengusik rasa kritikalku ini yang usil.. masalahnya di masyarakat umum, si "ibu" baru ini nyaris tidak mau meladeni kalau dipanggil mbak, atau namanya langsung. Dan kalau dipanggil Bu, begitu antusias dan merona muka sang "ibu" ini. Aneh, ya..  itulah gambaran masyarakat kita. Dan pasti bukan cuma terjadi dihadapanku saja. Apakah teman-teman punya kisah seorang haji, yang bila tidak dipanggil Pak Haji atau Bu Haji, orang tersebut tidak mau nengok? padahal kita lupa tanpa menyebut sandangan religi tersebut.

Bermacam-macam situasi sosial sesungguhnya selalu bisa diambil pelajaran dari mereka, untuk kita berkaca, bagaimana kita seharusnya tampil yang anggun dan elegan tanpa terbebani dengan statistik sosial kita. Menjaga jarak, Jaim dan semacamnya hanyalah salah satu cara melangsungkan kehidupan hegemoni. Dan kalau di desa saja sudah muncul individu-individu demikian, berarti benar dong apa yang dikatakan Iwan Fals, susah.. merubah desa yang terlanjur jadi Kota. Di mana lagi bisa kita jumpai wajah asli dan tampilan klasik tanpa pura-pura atau tanpa pengaruh pamrih sosialita.

Aku juga sudah mulai terkena epidemi itu, kalau mudik itu rasanya sudah seperti raja... dan itu sangat buruk kulakukan. Untung hanya sebentar, karena 2 jam berikutnya aku kembali dapat menetralisir darah urban menjadi nafas desa yang alami dan penuh senyum.

Pergantian wajah paling hanya kulakukan pada profil maupun headshot, pun ingin menampilkan wajah terkini. Bukan seperti temanku di fb, menggatii profil foto hampir tiap hari, pun itu bukan foto terkini, tapi cari yang paling muda, dari jaman SMA, remaja, atau duapuluhan, atau 2 tahun yang lalu. Bukankah lebih asik menampilkan detail garis wajah terkini? yang sudah berjenggot, muncul jenggotnya, yang sudah berkerut beban kehidupan akan tampil wajah kedewasaan dan pesonanya. Apa kata klawer tentang headsot hadiah dari mamang sejak 2 tahun lalu berupa Bob Marley yang sedang menampilkan sejuta ilusi lewat hisapan marijuana...

Secuil yang ingin kumuntahkan dari dalam otak di pagi hari.

- senangnya jadi diri sendiri-