Merenungkan GMT

Ilustrasi Gerhana Matahari. sumber: Google
Hari Rabu tanggal 9 Maret 2016, merupakan hari yang istimewa. Mengapa? karena hari tersebut bertepatan dengan hari libur nasional (hari raya nyepi), di kalender kantor tertulis Day of Silence 1938, lucu saja membacanya. Sok mbule yang bikin kalender..

Bangun pagi, membuka jendela suasana redup dan ku arahkan pandangan ke arah timur, terlihat warna kekuningan dan di jalanan banyak orang memakai kacamata untuk menikmati pemandangan langka yaitu gerhana matahari total, tapi tidak di Jakarta. Kamar kostku tidak ada pesawat televisi maka tidak bisa menonton program live daerah-daerah yang terlintasi GMT tersebut. Temanku si ngandroit itu, tapi nyari streaming di hari tersebut belum dapat ditemukan. Akhirnya kunikmati saja yang ada di sekitar rumah ibu kost membaur dengan warga sekitar sambil memakai kacamata hitam yang kubeli beberapa minggu lalu di teras toko. Biar murah yang penting sedikit kerenlah... 

Ingatanku jungkir balik ke jaman SD dulu dimana pernah mengalami gerhana matahari total sekitar tahun 1983 berarti masih kelas 3 SD. Saat itu warga demikian heboh dengan segala bunyi-bunyian aroma mitos begitu kental. Entah siapa yang bertanggung jawab terhadap kehebohan tersebut, semua orang ketakutan dan menyuruh anak-anak masuk ke dalam rumah, ke kolong tempat tidur, jendela musti ditutup rapat dan tidak membiarkan celah kecil cahaya matahari masuk ke dalam rumah, mereka takut buta dan hal gaib melanda. Di saat yang sama, dibelahan bumi lain orang-orang tengah mengamati gerhana tersebut dan mencari tahu fenomena alam yang sangat langka. Kita lagi-lagi dibodohi oleh sebuah kasta yang lebih atas, tentu kalau tidak dari lurah pasti dari atas-atasnya lagi. Ketakutan satu pihak akan menguntungkan pihak lain, itu rumusnya. 

Saat ini di jaman tekhlogi tinggi, manusia dapat memprediksi kejadian yang belum terjadi. Dari jam, tanggal dan hari bisa tepat sesuai perkiraan manusia. Hanya orang-orang yang mau berfikir atas apa yang terjadi dengan sekeliling, alam sekitar. Bahkan ketika aku di atas pesawat tak henti hentinya menatap ke bawah hamparan langit yang tak terhingga padahal itu belum seberapa di bandingkan alam raya. Aku merasa sangat kecil setiap berada di atas pesawat udara. Melihat bumi dan hamparan laut membiru manusia saja tidak bisa kelihatan..

Bumi merotasi dirinya di poros yang dijaga sang pencipta yang tidak pernah tidur menguru jagad raya, berputar agar terbentuk siang dan malam. Di saat yang sama ia berevolusi mengelilingi matahari yang sekali putaran memerlukan 366 hari. Dan di saat yang sama pula bulan mengelilingi bumi sebagai tugas sunatullah agar gravitasi terjaga, supaya air laut tidak berceceran ke mana-mana, sungguh setting yang sempurna. Maka ketika matahari-bulan-bumi ketiganya sejajar beeberapa wilayah di bumi akan gelap karena terhalang bulan. Di situ aku membayangkan jikalau waktu yang diberikan Allah terhadap bulan agar diam saja, tentu gerhana matahari di bumi akan berlangsung lebih lama. Dan kalau sampai satu jam, dua jam bahkan lebih lama tetap gelap tentu manusia akan panik. 

Pula mengingatkanku akan pertunjukan wayang kulit, di mana ketika dalang mengeluarkan gunung maka layar akan tertutup sebagian karena terhalang oleh gunung. Maknanya adalah sang dalang akan mengganti lakon, atau alur cerita. Demikian yang kurenungkan dari pemikiran pribadi bahwa saat gelap sejenak mungkin saja Allah tengah mengubah musim, siklus alam atau apa saja di jagad raya tanpa kita ketahui. Kewajiban manusia adalah selalu bersungguh-sungguh berusaha agar menjadi lebih baik dalam bertaqwa.