Serba Serbi Lebaran 2016 - 1437H

Nahda tengah memperlihatkan naik turun kursi
Mudik lebaran tidak lagi sebagai budaya Indonesia, tapi kalau boleh dibilang sudah seperti industri mudik. Berkah lebaran mencipratkan ke segala arah, semua kebagian. 

Tiket kereta yang lama kusimpan di dalam tas, tetap rapih tanpa lipatan sedikitpun. Aku memesannya 3 bulan sebelum keberangkatan, sekitar akhir Maret aku sudah antri di depan komputer dan tepat pukul 00 langsung saja booking, tapi tetap saja kebagian tanggal 2 Juli malam. Harapan lebih cepat berkumpul dengan keluarga, telat 1 hari. Kereta berangkat pukul 10.00 dari Stasiun Senen dan tiba pukul 03.00 di St. Purwokerto, disambut gerimis yang menyejukan. Di sepanjang jalan kami bertukar info dengan rekan-rekan yang menggunakan moda transportasi darat, semua menderita kemacetan di mana-mana. Dan dapat kulihat, ketika jalur kereta bersebelahan dengan jalur darat dari Brebes hingga Bumiayu, terlihat jelas mobil-mobil berhenti bergerak. Aku menyaksikan sambil selonjor dan merem-merem menikmati laju kereta.
Nahda pemalu

Sampai di Rumah pukul 05:00 dan semua menyambut di teras, kecuali Hanif yang masih di Warung. Ku dekap Afifa Nahda, tapi meraung menangis dengan keras. Pangling rupanya...
tapi tak perlu waktu lama untuk akrab dan dapat memeluknya erat.
                                                                                                                                                                                      
 Aku tidak bisa langsung tidur, meski badan capek, tetapi bermain bersama anak-anak. Dan kupanggil Hanif agar berkumpul di ruang tamu. Kupertontonkan video yang kuunduh dari youtub, tentang seorang laki-laki yang mementingkan Ibunya daripada istrinya yang cantik namun menghina Ibu suaminya. Sebuah pernikahan yang mengharukan, dan mempelai lelaki mengusir mempelai perempuan yang cantik tapi congkak. Kuberikan kultum di pagi hari, agar anak-anak lebih menghargai Ibunya, tidak berkata Ah, apalagi membentaknya.
    Dan kuakhiri dengan membacakan cuplikan puisi dari antah berantah:
Hidup Tapi Seperti Mayat

Bertamu, main HP...
Ngaji, main HP.....
Terima tamu, main HP..
Belajar, main HP
Bekerja, main HP
Sambil makan, main HP...
Di tengah keluarga, main HP...
Kiamatlah duniamu tanpa HP

Kadang terlihat dua orang duduk saling berhadapan tidak berbicara samasekali, karena salah satu atau keduanya main HP. Kalaupun harus bicara akhirnya tidak nyambung dan muncul sikap tidak lagi peduli.

Punya masalahpun bukannya mencari keluarga yang dekat, tapi membahas di sosmed rasanya lebih "afdhol".

Manusia menjadi " ada tapi tiada " sahabat....Jasad jasad yang telah menjadi zombie berkeliaran. Hidupnya hanya seputar dunia dalam ponselnya.

Basahnya embun pagi...
Hangatnya matahari pagi..
Jabat erat tangan sahabat telah hilang dan diganti dengan gambar gambar mati dalam ponselnya.

Gerak hebat akan petualangan bumi juga sudah diganti dengan gerak jempol dan telunjuknya.

Wajah wajah mulai pucat, tubuh mulai ringkih, pahala pahala berterbangan sia sia sebagai resiko terburuk yang mungkin dimiliki. Padahal engkau tidak ke mana mana dan belum melakukan apapun selain menggerakan jempol dan jarimu pada layar kecil nan penuh sihir ini.

Hidup dalam kematian itu adalah keniscayaan, tapi mati dalam kehidupan itu adalah pilihan.
Maka bangunlah!!! Hiduplah sebagaimana manusia itu hidup.

Saat suami/istri datang, simpan HPmu
Saat anak bercerita. simpan HPmu
Saat orangtua bicara, simpan HPmu
Saat tamu berkunjung, simpan HPmu
Saat rumah bau dan berantakan, simpan HPmu
Saat matahari merekah, udara sejuk, angin semilir, burung bersiul, anak anak tertawa riang, sekali lagi simpan HPmu.

Perhatikan duniamu dengan seksama. Sebab nikmat Ilaahi ada di sana.
Hiduplah!!!!
Engkau belum mati tapi bertingkah seperti mayat...
😭😭😭.

Ket: Mayat dan Zombie di sini dimaksudkan adalah manusia tetapi hidup dlm dunianya sendiri, tdk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar
.

Dan libur lebaran tahun ini, benar-benar bebas gadget....
Senyum penyemangat
menghabiskan waktu bermain dengan anak-anak

Menyukai utak atik


Lebaran tiba
Pertama dalam sejarah, Hanif Menangis dalam pelukan Ibunya
Alya, Ambar dan sepupu