Mandraguna

pic:pixabay.com
Mandi pagi menjadi rutinitas baru yang bisa kulakukan setelah sekian lama hidup dengan segala cara. Namanya juga pendekar, separan-paran melanglang buana hanya biar terlihat keren dan memecah kejenuhan hidup yang hanya monoton tanpa hentakan kisah kehidupan. Padahal tidak terlalu jauh juga selisihnya, hanya cuma di tingkat kakek artinya 2 generasi di atasku. Saat itu aku masih kecil dan ingat betul aktifitas para leluhur kita selalu bangun jam 4 pagi, saat itu belum ada kumandang azan subuh dari pengeras suara dari masjid dan surau. Mereka mengandalkan kluruknya ayam pejantan yang entah oleh sebab apa mereka berbunyi ketika pagi menjelang. Pasti itu yang disebut naluri hewan yang dianugerahkan oleh sang maha Kuasa. Maka sungai dan sumur menjadi ramai di pagi buta pertanda aktifitas manusia dimulai di sebuah perkampungan yang masih tradisionil. Selain mandi pagi, ibu-ibu mulai mengambil air bersih untuk dibawah ke rumah dan memulai merebus air untuk hidangan pagi yang hangat. Itu berlangsung bertahun-tahun sebelumnya meski tanpa listrik tanpa paralon. Segala hal adalah manual, natural, sakral. Kakek renta dengan tubuh segar setelah mandi pagi akan duduk menikmati teh keroncong yang disajikan oleh seorang biyung.

Ngasrep menjadi kebiasaan orang tua dulu karena ketiadaan lauk pauk, sehingga mereka hanya makan nasi tanpa rasa asin dan menghindari rasa lainya. Asrep adalah kata untuk sifat yang tidak berasa atau netral. Ngasrep merupakan kegiatan makan hanya karbohidrat yang dikukus. Perintah puasa mungkin belum sampai ke para pinisepuh sehingga mereka punya cara tersendiri untuk mendekatkan diri dengan sang maha pencipta secara turun temurun. Kebiasan tersebut memang tidak dilakukan oleh semua orang di masanya, namun hanya beberapa saja yang telaten. Dari mandi pagi, menjaga asupan makanan ke dalam tubuh, bekerja fisik di ladang lalu rehat di senja hari mengusir penat dan tertidur di waktu yang tidak begitu malam. Metabolisme terjaga, pikiran jernih, insting terasah sehingga aura positif begitu kuat. Maka kalau banyak cerita kalau orang jaman dulu itu sakti mandraguna, tidak mengherankan bagiku. Kekuatan pikiran menjadi dasar mereka untuk bisa melakukan banyak hal diluar nalar manusia. Banyak di antara mereka yang punya kesaktian tetapi tetap berlaku tulus dan tanpa merasa digdaya apalagi congkak. Kehidupan mereka tetap sederhana dan tidak terpikir komersil atau bahkan money oriented. Mengobati orang sakit atas dasar kemanusiaan tanpa harap timbal balik, dan hal ini kian menambah kedigdyaanya. Jaman kerajaan, bahkan jaman para nabi banyak orang sakti barangkali karena pola dan gaya hidup mereka yang mengambil sesuai kebutuhan dan membuang yang tidak diperlukan.

Jadi, jika di era modern 80s-90s bahkan 2000an ada orang mencoba-coba mengaku sakti atau berusahan supaya sakti mungkin bisa dibilang mustahil. Mereka sakti karena pengaruh baik kekuasaan, uang atau senjata bukan sakti mandraguna yang terlahir dari jiwa yang bersih. Untuk bertapa di tempat yang sunyi pun mungkin saat ini sudah sulit dicari, karena meskipun ada lokasi yang super sunyi senyap sekalipun tapi batin dan pikiran sudah runyam oleh berbagai informasi. Maka kendalikanlah hidup kita sendiri.