Antara Cerdas, Ruwet dan Sukses


Khotbah Jumat hari ini, 15 April 2016 menyoroti soal degradasi moral, sopan santun dan ahlak manusia dewasa ini. Aku mulai mendengar degradasi moral sejak K.H Zaenudin MZ ceramah di Radio sejak jaman remaja. Pembentukan karakter manusia memang disadari atau tidak dipengaruhi oleh lingkungan, orang tua, dan sekolah. Ketika orang tua hanya mendidik anaknya secara hanya dasar-dasar baik, benar, salah, dan hukuman dan melepas ke masyarakat setelah tidak dalam pengawasan keduanya. Maka sisanya adalah bentukan dari alam sekitar, apa yang dia dengar dan apa yang dia lihat.


Aku termasuk beruntung karena salah satu dari komponen karakterku berupa tingkah laku tidak banyak dipengaruhi oleh visualisasi, tapi lebih banyak kepada apa yang aku dengar dan berimajinasi. Dan yang paling berperan dalam pembentukan karakterku pada jamanya cuma Radio. Saat ini, bayi baru jebrol saja sudah menonton tayangan televisi. Dahsyat sekali dan sukses besar kepada para pioneer dan pemikir pencipta televisi, dibalik temuanya yang revolusioner aku juga yakin bahwa ada misi-misi tertentu di dalamnya. Umur balita yang rentan terhadap hal baru, ketika orang tuanya tidak aware akan bahayanya tayangan televisi akhir-akhir ini, menjadi bertoleransi ketika anaknya nangis dan diam anteng ketika diobati dengan melihat televisi. Alya salah satu dari sekian juta anak yang sudah kecanduan tayangan televisi. Dan berantem dengan kakaknya adalah pemandangan sehari-hari di rumah. Hanif tidak menyukai tayangan sinetron, apalagi India, tetapi adiknya Sinetron dan India menjadikan ia terpana dan menganga saking menghayatinya. Aku menyangsikan ketika seumuran balita mungkin sering ditaruh di depan TV sementara ibunya sibuk dengan urusan DSK (dapur sumur kasur) sementara Ayahnya mencari nafkah entah di mana.

Padahal tadinya bukan nulis soal itu, tapi kenapa jadi ke sana. Berati saat menulis aku memang seperti mengobrol saja tanpa setting dan perencanaan. Padahal tadinya mau cerita soal kecerdasan pikiran hingga otak yang terus berfikir keras nan ruet tapi tidak juga meraih apa yang diimpikan selama ini. Setiap mikir itu, aku merasa bersalah dan mengaanggap diri kurang bersyukur. 


Kutipan berikut ini memang sedang terjadi di depan mata, saat ini dan di alam ini:
Rasulullah saw bersabda, “Akan tiba suatu saat di mana seluruh manusia bersatu padu melawan kalian dari segala penjuru, seperti halnya berkumpulnya manusia mengelilingi meja makan.”Kemudian seseorang bertanya,”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah jumlah Muslim pada saat itu sedikit?” 
Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Daud no. 4297 dan Ahmad 5: 278, shahih kata Syaikh Al Albani)
Lalu kita pasti akan segera mengelak dan membela diri, ya bagaimana dong,.. hare gene semua musti serba pakai uang, dll. Biaya hidup yang tinggi, menurutku dikarenakan oleh beberapa faktor misalnya:Kebijakan (politis), sumber daya manusia (individu) dan sumber daya alam. Kita menang kuantitas tapi soal kualitas aku sendiri meragukan. Kemauan akan kemandirian berbagai bidang tidak terjadi secara masal dan masif. Idealisme tercipta secara kelompok dan cenderung sporadis dan lebih parah lagi politis. Misal saja heboh menciptakan mobil listrik nasional, ramainya hanya menjelang pemilu. Ketika sudah lewat entutnya pun tak lagi terdengar. Sumber daya alam juga kurang apakah kita ini, membanggakan diri gemah ripah lohjinawi bergantung pada bahan mentah tanpa pengolahan lebih lanjut. Apa yang aku tulis tentu saja tidak akan banyak merubah situasi negara, tapi paling tidak keresahan yang kurasakan tumpah ruah di sini dan kelak bisa dibaca anak cucu. 

Padahal kalau kita tonton di youtube, atau video facebook banyak hal yang menginspirasi kita semua, bagaimana mereka memproduksi kancing baju, jarum pentol, orlet, kelereng dan lain sebagainya, sepele tapi untuk kebutuhan banyak orang. Barangkali di negeri tirai bambu anak-anak SMP atau STM membuat ketrampilan berupa chips, layar atau komponen dasar lalu dirakit menjadi henphone dengan aneka macam merk dan model. 

Pikiranku ruwet kan? sampai mikir ke sana kemari padahal ya hidupku begini-begini saja, tuh kan kurang referensi rasa sukur tuh kalau sudah hidup begini begitu. Ya sebetulnya aku ini kan nggak bodo-bodo banget, Teman-teman dulu yang ranking 1 naik podium dan dapat hadiah 5 buku tulis merk AA ketika kenaikan kelas, mereka tidak bisa merubah Indonesia. Jadi ini namanya sesuai judul blog kok, tentang apa saja. Tanpa pakem yang jelas dan tidak sistematis blas. 

Tapi lumayan sekarang pikiran ruwet ini tidak lagi menjurus ke selangkangan melulu, karena pandangan hidup ini sudah mulai beralih ke mode pegangan hidup. Iya, dong? 

Sukses itu, ketika habis nulis langsung diposting tanpa dibaca ulang, karena yakin, seluruh isi tulisanya adalah mikir sendiri. Harta benda aku yakin akan mengikuti, asal ada usaha dan mau ruwet sedikit.