Adem

Demo damai telah usai, suasana adem di sepanjang 411, aku sangat berusaha keras agar tidak membaca, melihat apapun yang sekiranya mudah membelokan niat awal kaum muslimin. Perjuangan membela apapun selalu saja dikotori hal-hal yang diluar esensi. Secara umum gelar aksi kemarin berlangsung tertib, dan menjadi kekaguman berbagai pihak. Adakah ribuan orang berkumpul menyampaikan aspirasi sedemikian besar dan tetap terkendali? Adakah gerakan lain bisa seperti ini? inilah rahmat untuk semua. 

Kepemimpinan itu merangkul semua kalangan, memberi ketentraman dan solusi jika semua menjadi buntu. Tapi sayang sekali ini tidak terjadi, no statement bahkan action...

Aku juga memimpin organisasi kecil, berbentuk keluarga, terus belajar dari segala situasi, dari keluarga lain, dari artikel, dari sumber apa saja yang bisa meningkatkan kebaikan. Sebuah keluarga tanpa gejolak? pasti tenteram dan adem jilep. Keluarga baik, maka negara akan baik. 
Tidak mau memikirkan terlalu jauh persoalan pelik negara, tapi turut memperdulikan meski tidak akan berpengaruh besar terhadap masalah yang ada. Jangka panjangnya, Indonesia mau seperti apa? anak cucu kita apakah masih aman beribadah di Masjid dan surau-surau? 

Teman-teman yang merasa otaknya encer meski mengaku muslim namun kerap berlogika dan menghujat apa yang sedang diperjuangkan para ulama. Argumentasi mereka selalu canggih dan susah didebat, dan aku tidak heran karena dari jaman dulu selalu ada pembantah dan pembangkang.
Bahkan perintah Allah nyaris tidak dilaksanakan saat perintah menyembelih seekor sapi betina oleh nabi Musa kepada kaumnya. Songong...

Adem juga dapat kurasakan setelah hati yang utuh, pikiran fokus terhadap pekerjaan dan masa depan anak-anak. Maka keluarga yang bahagia bukanlah keluarga yang adem ayem tanpa gejolak. Tapi bagaimana mengelola gejolak menjadi keindahan, angel kan? tapi tidak layak dicoba... itu alami saja.