Tuman

Tuman merupakan bahasa Jawa kuno untuk menyatakan sikap seseorang yang awalnya tidak menyukai sesuatu atau tadinya tidak mengalaminya lalu tanpa sengaja atau secara alami mulai melihat, merasakan dan mengalami peristiwa kemudian ia akan mengulangi lagi dan sulit untuk menghentikanya. Ambil contoh, bocah kecil yang tidak tahu menahu apa itu nasi, kemudian ia mencoba-coba atau dikenalkan oleh ibunya lalu ia menjadi tuman. Tuman beda dengan ketagihan, kalau ketagihan mungkin lebih ke konotasi negatif (Rokok, Miras, Narkotik, etc)

Syahdan...
Kita tidak pernah sanggup melihat bayangan pohon atau bayangan diri kita bergerak mengikuti matahari. Atau mengamati pergeseran bulan dari titk A ke titik B sampai dia tenggelam, kecuali menggunakan alat teleskop dan untuk acara discovery.
Tapi halnya perubahan jaman, kita dapat jelas melihat perkembangnya dari hari ke hari. Manusia yang lahir di era 70s-90s paham betul akan perubahan dunia. Kebiasaan kita sudah bergeser dari waktu ke waktu. 

Apa yang kita bayangkan?
Jaman sekolah, pulang, ganti baju, bermain ke kali atau ke kebun dan lain sebagainya. Keceriaan mewarnai masa kecil pada jaman itu. Beranjak remaja, mulailah ada selingan diantara bermain dengan mendengarkan radio. Malamnya sudah mulai menonton televisi, semua terasa sangat berharga dan alami. Para tokoh sering kali menjadi panutan baik dalam permainan sehari-hari atau mengilhami dalam meniti hari demi hari hingga beranjak dewasa. Otak kita tidak mudah goyah dan terhapus oleh terpaan informasi yang bertubi2 saat itu. Singkat cerita, untuk bisa sampai ke jaman digital seperti ini proses perubahan-perubahan sangat mudah kita rasakan. Hingga internet mengubah semua hal dari soal dapur hingga kasur tak lepas dari peran gadget. Belum lagi dunia hiburan, televisi saat ini seperti kehilangan ruhnya. Orang-orang telah banyak beralih ke youtub karena di sana ada kebebasan tersendiri dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Saat ini yang saya rasakan semua orang bisa dengan bebas berekpresi, tapi untuk berpendapat rasanya tidak sebebas dulu. Tingkat selera humor juga sudah pada puncaknya, semua hal lucu sudah kita lihat dan dengar. Selera lagu juga sepertinya sudah mentok pada nada yang cuma 1-7 not dan jika sudah lebih dari 1 milyar lagu sejak pertama kali diciptakan, mungkinkah saat ini telah banyak nada lagu yang mirip? ya, benar. Karena tingkat jenuh nada yang sudah tidak bisa dikulik lagi mungkin. Rasa sedih apakah masih sama? mungkin juga bergeser, dulu ketika orang tertimpa musibah banyak orang iba dan terharu, sekarang sepertinya jikapun terpaksa orang lain tau lewat unggahan dunia maya, bisa ditebak orang-orang dibawahnya akan komentar basa-basi. Rasa senang? ya rasa senang juga sudah berebeda levelnya, harus tinggi baru gembira. Bepergian? ini juga sudah dititik didih barangkali bagi para kaum elit yang telah menyinggahi berbagai belahan dunia, hingga muncul piknik ke luar angkasa. Kebanyakan dari kita seperti sudah merasa tuman dengan kondisi akhir-akhir ini, rasa nyaman, cuek tidak mau berfikir teliti, tidak bisa merenungi. Semua frekuwensi berfikir selalu bertabrakan. Karena kalau sudah pegang hanfun, kesibukan tangan seperti menggenggam dunia. Sat..set... kita akan sangat sibuk hingga akhirnya.

Covid-19 membatasi banyak hal kesenangan, dan pasti ada maksudnya bagi orang-orang berfikir. Terserah apa kata dunia yang bilang ini konspirasi, ada yang bilang by design, pula ada yang bilang ini kebocoran dari laboraturium. Tapi nyatanya semua orang banyak yang takluk dan tunduk akan sebuah aturan yang terpusat entah dari mana. Rasa tuman kesenangan, hura-hura mulai dibatasi agar semua bisa merasakan apa yang terjadi saat jaman dulu begitu sepi dan sunyi tapi ramai dengan berkawan di dunia nyata.